Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Berdamai ala Anak Kecil

29 Oktober 2018   11:30 Diperbarui: 17 November 2018   13:48 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru saja saya selesai menjawab salam seorang gadis kecil di TPA tempat saya menjadi relawan, kerumunan anak-anak lelaki berteriak dari jauh dan datang menyelanya, "kakaaak... kakaak! Ini mereka bertengkar!"

Terlihat mereka mendorong dua orang bocah yang menunduk sembari sesekali sesenggukan untuk menahan tangis.

"Bertengkar kenapa ini?" tanya saya pelan, sambil mengelus punggung salah satu dari mereka yang tampak lebih emosi dan mencoba memukul anak di sebelahnya, yang sementara didorong ke belakang oleh yang lain.

"Tadi A dikatain kurus kak, dan dia nggak terima. Jadinya si R dipukul. Eh habis itu mereka malah saling pukul. Aku juga tadi kena pukul lho kak, padahal mau melerai mereka," adu seorang anak yang menjadi saksi mata.

"Oohh.. " saya mengangguk paham. Persoalannya sebenarnya sepele, tapi karena yang diejek keburu emosi, jadinya malah berbuntut panjang. "Terus sekarang mau dilanjutkan bertengkarnya? Enggak kan?! Habis nanti energi kalian."

"Betul... betuuul!" anak-anak lain menimpali secara bersamaan, bahkan salah satu dari mereka ikut menasihati, "bertengkar kan banyak negatifnya ya kak?! Sudah berdosa, sakit badan lagi!"

"Tuuh dengar 'kan kata temannya?! Udahan yok bertengkarnya, sekarang saling memaafkan ya? Baik yang mengejek dan memukul, semuanya salah. Untuk ke depannya, kalau kita sakit hati karena diejek, jangan sampai kita mengejek lebih dahulu. Begitu pula kalau kita tidak mau sakit karena dipukul, ya jangan memukul temannya."

Usai berpanjang lebar menyampaikan nasihat, anak-anak di sekeliling mereka kompak mendorong mereka untuk saling tatap dan mengayunkan tangan bersalaman minta maaf. "Sok atuuh.. "

Sayangnya, gerakan itu tidak mempan sama sekali. Keduanya masih beku, tidak beranjak dari posisi mereka semula. Bahkan ketika saya menyuruh mereka untuk masuk kelas dan duduk, tetap saja mereka tak bergeming. Saran saya untuk mengambil wudhu pun diacuhkan. 

Rangkaian saran kawan sebaya mereka juga bernasib sama: ditolak mentah-mentah. Saya pun kembali dibuat mereka memutar otak. "Boleh kok lanjut bertengkarnya, tapi yang lain nggak boleh pulang ya sebelum kalian berdua saling memaafkan."

Mendengar ultimatum saya, bocah-bocah di sekeliling mereka makin bersemangat untuk memberi petuah. Nada suara mereka tenang sekali. Bahkan sesekali diselipi canda. Saya semakin kagum ketika tidak ada satu pun dari mereka yang marah atau gemas karena pulang terlambat yang diakibatkan oleh teman mereka sendiri. Justru semangat mendamaikan keduanya sangat menggelora.

Lewat lima belas menit dari jam pulang reguler TPA, keduanya pun sepakat berdamai. Sembari mendongak malu, mereka akhirnya mengakui bahwa keduanya bersalah dan setuju untuk tidak mengulanginya lagi. sesaat setelah itu, mereka bahkan memutuskan kembali bermain bersama, bahkan dari kejauhan saya melihat mereka pulang ke rumah beriringan. 

Tidak terlihat lagi sorot emosi, mereka malah terlihat asyik melangkahkan kaki sambil tertawa-tawa sampai saya terheran sendiri, 'bukankah mereka tadi bertengkar hebat?'

Melihat mereka berdua yang mendadak cair seolah tidak terjadi masalah apa-apa setelah terjadi kesalahpahaman, membuat saya teringat kondisi masyarakat akhir-akhir ini. Saya kemudian mengawang jauh... kapan ya kita sebagai orang dewasa bisa lebih lapang dada dan cepat berdamai seperti mereka? 

Sedihnya, banyak konflik yang melibatkan orang dewasa justru menyisakan dendam berkepanjangan, bahkan hanya berbeda pilihan politik saja merambatnya hingga ke retaknya hubungan bisnis sampai keluarga. Padahal politisi di atas sana sudah mau ngopi bersama satu meja, eh kitanya malah masih betah untuk tak bertegur sapa. 

Dan membandingkan hal ini dengan cerita anak TPA tadi sepertinya kok lucu sekali. Jika dinalar, bukankah dari segi akal dan emosi seharusnya orang-orang dewasa jauh lebih stabil? 

Bar-tal dkk (2014) menyebutkan bahwa kesulitan penanganan konflik bukan hanya karena emosi tinggi dan beratnya mempertahankan kepentingan semata, namun bagaimana seseorang dibesarkan dan lingkungan sosial juga mempengaruhi individu untuk tetap berkonflik. Selain itu, sebagian besar orang dewasa ketika berkonflik hanya terfokus pada posisi mereka semata, tanpa berpikir jauh apa kepentingan dan kebutuhan mereka sebenarnya. 

Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menyingkirkan ego sementara waktu dan selanjutnya mulai berpikir apa yang kedua belah pihak butuhkan dan mencari jalan tengah dari pusaran tersebut. Misalnya, bila kita berkonflik dan menginginkan pihak lawan dipecat, mari ubah pola pikir dan bayangkan bila kita ada di posisi yang sama. 

Dari situ gali apa yang sebenarnya kedua belah pihak inginkan dan mulailah diskusi terbuka. Bila keduanya sudah mengetahui kebutuhan keduanya, tentu menurunkan egoisme dapat menjadi kunci agar perdamaian dapat terwujud dengan segera. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun