Menengok para supporter bola tanah air, termasuk bagaimana fanatisme berlebihan mereka yang berulang kali memakan korban, saya selalu sukses dibuatnya heran dan geleng-geleng kepala. Konflik pasca-pertandingan hingga pengeroyokan terhadap pendukung lawan seolah sudah menjadi warna-warni liga sepakbola kita.
Karena kondisi itu juga lah, meski saya pemerhati sepakbola nasional, saya tidak pernah menginjakkan kaki ke stadion. Padahal bisa dibilang, sudah banyak juga suporter perempuan yang merapat dan turut mendukung kesebelasannya secara langsung.
Belum lagi di luar lapangan, beberapa kali saya membaca dan mendengar gerakan suporter yang menggalang dana amal sampai membantu korban bencana. Namun persentase mereka jauh lebih kecil dibanding jumlah oknum yang terlibat huru hara.
Selain ketimpangan tersebut, saya juga mengalami pengalaman pribadi yang membuat saya kurang respek terhadap rombongan suporter. Meski saya akui, lebih banyak orang-orang baik yang mendukung klub bola dengan tulus tanpa mengedepankan anarkisme. Tapi saya rasa ada baiknya berbagi cerita agar persoalan sejenis dapat segera teratasi.Â
Pernah suatu kali saat PSSI menyelenggarakan kongres di Bandung, saya berjumpa dengan segerombolan bonek yang mencoba mencari tumpangan truk untuk pulang ke Surabaya. Dengan atribut hijau-hijau mereka yang khas, mereka melambai-lambaikan tangan dan berteriak lantang ke arah kendaraan yang melintas. Letih karena diabaikan, akhirnya beberapa orang merapat ke arah penjual nasi goreng, "mas mau dong dibungkusin."
Mamang-mamang PKL yang sudah terlanjur takut kemudian menyiapkan sejumlah porsi untuk mereka bawa pulang. Setelah dibungkus rapi dengan cekatan supporter persebaya tadi langsung berterima kasih pada sang penjual dan berharap dimaklumi atas perbuatan mereka, "uang saku dua puluh ribu kami sudah habis pak. Nggak ada uang lagi, ini tinggal nyegat truk barang buat balik kampung."
Mendengar keluh kesah mereka mengenai klub, latar belakang, dan sedikit opini tentang Bandung, saya yang duduk di deretan meja PKL makin dibuat takjub saja, terutama ketika mereka hanya bermodalkan sedikit uang untuk melancong ke luar kota.
Meski saya sebelumnya sudah mendengar bahwa Ridwan Kamil menyiapkan akomodasi gratis untuk mereka, tapi tetap saja sepuluh ribu kali dua hari untuk transport dan makan tidaklah cukup. Tentu perlu taktik ekstra seperti apa yang tadi mereka lakukan untuk tetap bertahan.
Hal lain yang perlu digarisbawahi juga adalah sebagian besar mereka yang ikut dalam rombongan belum cukup umur, ada anak-anak SD kelas enam dan SMP. Saya sendiri tidak terlalu tahu apakah orangtua mereka betul-betul mengijinkan mereka pergi atau mereka bermain petak umpet di belakang mengenai masalah ini.
Belum menghilang keheranan saya, beberapa oknum tidak lama berulah dengan bertindak tidak sopan para pengguna jalan, terutama kaum wanita.Â
Melihat yang mereka lakukan tentu banyak orang sudah dibuat geram dan kemudian buru-buru memberikan stereotype buruk pada kelompok supporter lokal, padahal akar dari permasalahan supporter sendiri sangatlah kompleks. Sama halnya dengan hooligan di luar negeri, mendukung tim olahraga adalah salah satu bentuk aktualisasi diri.
Lebih jauh, dengan tingkat pendidikan dan level ekonomi yang masih rendah, sepakbola menjadi sumber pelarian favorit untuk melupakan masalah hidup sehari-hari masyarakat kita. Meski begitu, tingkat kreativitas dan keriuhan yang mereka timbulkan di stadium perlu diacungi jempol.
Hal ini lah yang menjadi daya utama liga nasional, bahkan seorang pengamat dari Inggris, Anthony Sutton pernah mengungkapkan bahwa menonton liga 2 Indonesia jauh lebih mengasyikkan dibandingkan menonton laga internasional timnas Singapore melawan Argentina beberapa waktu lalu.Â
Bukan hanya karena permainan mereka yang monoton, supporter sepakbola Singapura yang super kalem berefek pada kurang gregetnya pertandingan. Dengan melihat opini ini saja seharusnya kita perlu bangga karena supporter Indonesia dianggap lebih dipandang di kancah global.
Tapi itu saja tidak cukup, pemberdayaan supporter harus lebih menyeluruh, tidak hanya melalui yel-yel penuh semangat untuk terus loyal pada klub tapi juga dari segi ekonomi dan pendidikan agar konflik dan permasalahan sejenis bisa diminimalisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H