Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menikmati "Homemade Food" ala Norwich

6 Maret 2018   16:50 Diperbarui: 6 Maret 2018   17:09 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Banyak orang mengira bahwa kuliah di luar negeri sangat menyenangkan. Selain karena postingan karyasiswa di sosmed yang rata-rata hanya berisikan foto jalan-jalan, masyarakat awam sering berekspektasi bahwa kuncinya hanya lah mahir bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya, dan voila.. lulus! Well, apparently not that easypeasy lemon squeezy.

Pengalaman saya ternyata nggak seindah di laman instagram. Selama dua tahun menempuh magister: tidur tidak teratur, makan pun seringkali serba instan, bahkan nongkrong pun seringnya nggak lagi sama orang, tapi sama komputer! Karena kesibukan yang intens ini lah, saya sering mencuri-curi waktu untuk melepas rileks. Kalau banyak mahasiswa Indonesia memilih jalan-jalan keliling Eropa, saya justru agak anti-mainstream: menghabiskan waktu dengan keluarga lokal melalui NGO bernama HOST. Salah satu pengalaman menarik saya adalah ketika bercengkrama dengan keluarga Watkins di desa nan tenang di wilayah Norwich, bagian utara Inggris saat saya masih berjibaku dengan pengerjaan tesis.

Kunjungan ke Norwich sebenarnya hal di luar rencana, selain tawarannya datang mendadak, saya juga masih dipusingkan dengan bagian analisis proyek akhir yang tak kunjung usai. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya pun mengiyakan untuk datang ke desa agraris tersebut. Padahal waktu itu, tesis saya baru separuh jalan dan tiket kereta juga belum dipesankan. 

Wuidih.. nekat banget ya saya ini, batin saya takjub sekaligus ketar-ketir. Sesaat setelah menyatakan 'fix' akan datang pada Mary Watkins, tuan rumah yang akan saya kunjungi, saya kembali menatap draft tesis yang penuh commentdari supervisor. Dengan nada getir tapi masih bersemangat empat lima, saya elus punggung si laptop kesayangan, "tenang, Nak. Kamu akan baik-baik saja. Kita (mau nggak mau) akan menyelesaikan urusan ini tepat waktu!" tekad saya kuat, sembari mengepalkan tangan penuh percaya diri. Tak lama, saya lalu menutup perangkat teknologi itu dan bersiul riang mempersiapkan barang bawaan yang akan dimasukkan ke ransel.

Sehari sebelum pergi ke Norwich, saya sebenarnya masih setengah hati untuk berangkat. Beban tesis seakan belum benar-benar lepas dan bergentayangan terus di kepala. Oleh karena itu untuk menenangkan hati, saya mencoba membayangkan diri saya seperti kawan-kawan satu angkatan yang super-smart. Kalau mereka saja bisa dapat nilai A dengan teknik: clubbing-bikin tugas-clubbing lagi, kenapa saya yang rajin ke perpus (untuk numpang tidur) ini enggak? Dengan berbekal keyakinan diri bahwa saya juga pintar (pintar ngibul maksudnya), saya kemudian bertekad bulat bahwa perjalanan ini memiliki dua tujuan hakiki: selain untuk menyegarkan otak, juga untuk mengenyangkan perut dengan makanan enak plus gratis. Dengan penjiwaan anak kos inilah, saya selanjutnya menjadi lebih tegar dan dapat menikmati perjalanan di kereta dengan nyaman.

Sekitar pukul sebelas, kereta yang saya tumpangi akhirnya sampai juga di stasiun terdekat. Mary, wanita seusia nenek saya itu pun langsung menyilakan saya untuk duduk di kursi penumpang. Tidak lama setelah saya siap, ia menyalakan mesin mobil dan kami berdua pun menyusuri jalanan desa yang lengang. Di sepanjang perjalanan, kami saling memperkenalkan diri dan bercerita. 

Dari cerita Mary, saya baru paham kenapa daerah ini sunyi sekali: sebagian generasi mudanya memutuskan untuk pindah ke kota. Karena populasinya yang rendah, jadi jangan heran jika dalam satu hari hanya ada 3x jadwal bus, bahkan itu pun hanya lima hari: Senin sampai Jumat. Belum selesai anggukan saya saat memahami kondisi desa, layar di hape menunjukkan hal yang paling bikin senewen oleh generasi millennial: nggak ada sinyal!

Melihat kondisi yang kurang kondusif ini, saya pun berinisiatif menanyakan koneksi internet kepada Mary. Jawabannya tak kalah seram: ia tidak berlangganan internet, hanya sekali-kali membeli paket data bila perlu, dan itu pun hanya seratus MB per bulan. Lengkap sudah, pikir saya. Desa terisolir, nggak ada sinyal, dan tinggal di rumah tua dengan pasangan senior. Kombinasi ketiganya membuat saya jadi ingat setingan novel misteri klasik yang seringkali berfitur sama.

Namun ketakutan abstrak saya langsung terbantahkan sesaat setelah masuk ke dalam rumahnya yang telah berusia lebih dari satu abad. This is like home: perapian yang hangat dengan dikelilingi rak kayu penuh buku, lukisan bergaya abstrak, beragam kerajinan seni, dapur dengan banyak jenis bumbu dari belahan dunia, bahkan rumah mereka dilengkapi juga dengan taman bunga dan kandang ayam. Tak jauh dari rumah mereka, terdapat padang ilalang luas, tempat peternakan kuda dan sapi. Betul-betul gambaran khas desa yang dulu hanya saya bisa bayangkan ketika membaca novel Lima Sekawan karya Enid Blyton. Dan tentu saja hal seperti ini sudah sangat sulit dijumpai di daerah perkotaan Inggris.

Tak lama berselang, Mary mengajak kami untuk berkutik di dapur, mempersiapkan pie sayur, salad, apple crumble dan es krim vanilla. Mendengar Mari menyebutkan banyak menu, saya sebenarnya sedikit amazed.Dengan perut yang udah keroncongan, apa tidak memakan waktu untuk memasak sebanyak ini? Tapi dugaan saya kembali salah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun