Banyak orang mengira bahwa kuliah di luar negeri sangat menyenangkan. Selain karena postingan karyasiswa di sosmed yang rata-rata hanya berisikan foto jalan-jalan, masyarakat awam sering berekspektasi bahwa kuncinya hanya lah mahir bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya, dan voila.. lulus! Well, apparently not that easypeasy lemon squeezy.
Pengalaman saya ternyata nggak seindah di laman instagram. Selama dua tahun menempuh magister: tidur tidak teratur, makan pun seringkali serba instan, bahkan nongkrong pun seringnya nggak lagi sama orang, tapi sama komputer! Karena kesibukan yang intens ini lah, saya sering mencuri-curi waktu untuk melepas rileks. Kalau banyak mahasiswa Indonesia memilih jalan-jalan keliling Eropa, saya justru agak anti-mainstream: menghabiskan waktu dengan keluarga lokal melalui NGO bernama HOST. Salah satu pengalaman menarik saya adalah ketika bercengkrama dengan keluarga Watkins di desa nan tenang di wilayah Norwich, bagian utara Inggris saat saya masih berjibaku dengan pengerjaan tesis.
Kunjungan ke Norwich sebenarnya hal di luar rencana, selain tawarannya datang mendadak, saya juga masih dipusingkan dengan bagian analisis proyek akhir yang tak kunjung usai. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya pun mengiyakan untuk datang ke desa agraris tersebut. Padahal waktu itu, tesis saya baru separuh jalan dan tiket kereta juga belum dipesankan.Â
Wuidih.. nekat banget ya saya ini, batin saya takjub sekaligus ketar-ketir. Sesaat setelah menyatakan 'fix' akan datang pada Mary Watkins, tuan rumah yang akan saya kunjungi, saya kembali menatap draft tesis yang penuh commentdari supervisor. Dengan nada getir tapi masih bersemangat empat lima, saya elus punggung si laptop kesayangan, "tenang, Nak. Kamu akan baik-baik saja. Kita (mau nggak mau) akan menyelesaikan urusan ini tepat waktu!" tekad saya kuat, sembari mengepalkan tangan penuh percaya diri. Tak lama, saya lalu menutup perangkat teknologi itu dan bersiul riang mempersiapkan barang bawaan yang akan dimasukkan ke ransel.
Sehari sebelum pergi ke Norwich, saya sebenarnya masih setengah hati untuk berangkat. Beban tesis seakan belum benar-benar lepas dan bergentayangan terus di kepala. Oleh karena itu untuk menenangkan hati, saya mencoba membayangkan diri saya seperti kawan-kawan satu angkatan yang super-smart. Kalau mereka saja bisa dapat nilai A dengan teknik: clubbing-bikin tugas-clubbing lagi, kenapa saya yang rajin ke perpus (untuk numpang tidur) ini enggak? Dengan berbekal keyakinan diri bahwa saya juga pintar (pintar ngibul maksudnya), saya kemudian bertekad bulat bahwa perjalanan ini memiliki dua tujuan hakiki: selain untuk menyegarkan otak, juga untuk mengenyangkan perut dengan makanan enak plus gratis. Dengan penjiwaan anak kos inilah, saya selanjutnya menjadi lebih tegar dan dapat menikmati perjalanan di kereta dengan nyaman.
Sekitar pukul sebelas, kereta yang saya tumpangi akhirnya sampai juga di stasiun terdekat. Mary, wanita seusia nenek saya itu pun langsung menyilakan saya untuk duduk di kursi penumpang. Tidak lama setelah saya siap, ia menyalakan mesin mobil dan kami berdua pun menyusuri jalanan desa yang lengang. Di sepanjang perjalanan, kami saling memperkenalkan diri dan bercerita.Â
Dari cerita Mary, saya baru paham kenapa daerah ini sunyi sekali: sebagian generasi mudanya memutuskan untuk pindah ke kota. Karena populasinya yang rendah, jadi jangan heran jika dalam satu hari hanya ada 3x jadwal bus, bahkan itu pun hanya lima hari: Senin sampai Jumat. Belum selesai anggukan saya saat memahami kondisi desa, layar di hape menunjukkan hal yang paling bikin senewen oleh generasi millennial: nggak ada sinyal!
Melihat kondisi yang kurang kondusif ini, saya pun berinisiatif menanyakan koneksi internet kepada Mary. Jawabannya tak kalah seram: ia tidak berlangganan internet, hanya sekali-kali membeli paket data bila perlu, dan itu pun hanya seratus MB per bulan. Lengkap sudah, pikir saya. Desa terisolir, nggak ada sinyal, dan tinggal di rumah tua dengan pasangan senior. Kombinasi ketiganya membuat saya jadi ingat setingan novel misteri klasik yang seringkali berfitur sama.
Namun ketakutan abstrak saya langsung terbantahkan sesaat setelah masuk ke dalam rumahnya yang telah berusia lebih dari satu abad. This is like home: perapian yang hangat dengan dikelilingi rak kayu penuh buku, lukisan bergaya abstrak, beragam kerajinan seni, dapur dengan banyak jenis bumbu dari belahan dunia, bahkan rumah mereka dilengkapi juga dengan taman bunga dan kandang ayam. Tak jauh dari rumah mereka, terdapat padang ilalang luas, tempat peternakan kuda dan sapi. Betul-betul gambaran khas desa yang dulu hanya saya bisa bayangkan ketika membaca novel Lima Sekawan karya Enid Blyton. Dan tentu saja hal seperti ini sudah sangat sulit dijumpai di daerah perkotaan Inggris.
Tak lama berselang, Mary mengajak kami untuk berkutik di dapur, mempersiapkan pie sayur, salad, apple crumble dan es krim vanilla. Mendengar Mari menyebutkan banyak menu, saya sebenarnya sedikit amazed.Dengan perut yang udah keroncongan, apa tidak memakan waktu untuk memasak sebanyak ini? Tapi dugaan saya kembali salah.Â
Semua menu yang tadi disebutkan hanya memakan waktu sekitar setengah jam. Untuk pie sayur apalagi, yang saya kira paling ribet, eh ternyata mudah sekali. Siapkan saja kulit pie jadi dari supermarket dan masukkan sayuran yang kita suka, kali ini kami memasukkan: jamur, tomat, dan selada hijau. Setelah ditata di atas kulit pie, tuang hasil kocokan dua atau tiga telur yang telah ditambah dengan garam plus lada. Bila semuanya sudah beres, tinggal dimasukkan ke dalam oven deh. Waktu masaknya pun cukup cepat, hanya sekitar dua puluh menit.
Usai menutup pintu oven, kami masih memiliki pe-er yang belum selesai: apple crumble. Sama seperti pie sayur yang praktis, apple crumble pun setali tiga uang. Terlihat kompleks, tapi ternyata bahan-bahannya tinggal dimasukkan satu per satu saja, lalu dimasukkan loyang. Untuk kali ini, bahkan Mary sudah menyiapkan potongan apel yang ia masukkan ke dalam kaleng.Â
Jadi kami hanya perlu membuat crumble-nya yang terbuat dari tepung, gula, mentega, dan bubuk kayu manis atau cinnamon. Tidak lama setelah adonannya jadi, crumble ini pun ditutupkan di atas kotak-kotak apel. Yumm.. melihatnya saja sudah bikin saya meneteskan air liur! Tak sabar rasanya menyendok potongan dessert yang menggoda iman ini.
Disamping waktu persiapan yang super cepat, hal menarik lain adalah usaha keras Mary untuk mempersiapkan menu yang bisa saya santap dengan nikmat tanpa harus melanggar hak privasi saya sebagai seorang muslim. Melihat upayanya, saya jadi terharu sendiri. Kalau selama ini saya lebih sering mengalah dan menjadi picky eaterketika makan bersama dengan teman-teman di kampus. Untuk sekarang, yang terjadi adalah sebaliknya. Dihadapkan dengan makanan lezat, tanpa harus pikir panjang dua kali di negeri Ratu Elizabeth adalah anugerah yang tidak terkira. Sesuatu hal yang mungkin jarang saya syukuri ketika masih menetap di Indonesia, dimana mencari makanan halal itu gampangnya seujung kuku: mudah sekali dan dimana-mana ada.
Tidak lagi ba-bi-bu, usai pie dipotong menjadi empat bagian saya langsung makan pantry sehat itu dengan lahap. Tak ada lagi kata malu ketika Mary kembali menyodorkan loyang, pertanda menyuruh saya untuk masuk ronde kedua, "it is so yummy," komentar saya penuh suka cita ketika pasangan senior ini menanyakan bagaimana rasanya. Tidak lama kemudian, ia beranjak lagi ke dapur dan meninggalkan kami bertiga di meja makan. Sembari menunggu Mary kembali, David membawakan kami album foto berukuran besar dan dibukakanlah lembar demi lembar itu di hadapan kami. "I went to Komodo Island last year."
Woww! Kumpulan foto dan diarinya sudah berumur puluhan tahun. Bahkan buku saku traveling pertamanya hingga sekarang masih tersimpan rapi. Bayangkan saja, dia sudah berpetualang ke seratusan negara! Selain telah berkesempatan mengunjungi Indonesia tahun lalu, di usia yang menginjak kepala tujuh, ia ternyata masih memiliki rencana untuk menjelajah beberapa negara lain tahun depan. Dan kerennya, spiritnya tidak kalah dengan rombongan anak muda yang selalu ia jumpa di tengah perjalanan.
Berbeda dengan David, sang penjelajah. Mary justru memiliki karakter yang berbanding terbalik: ia adalah pribadi introvert dan lebih suka bersantai di rumah. Selain merawat kebun dan gemar menyulam, Mary lah yang dominan melakukan pekerjaan rumah tangga dari mencuci hingga memasak. "But he helps a lot, though sometimes he does not care what I have done," curhat Mary sembari melirik suaminya yang hanya bisa meringis. Melihat pasangan senior ini saya langsung jadi iri, marriage goals banget nggak sih? Bukan hanya bahagia ketika meraih kesuksesan bersama, tapi suka cita pun tetap dirasa bahkan saat memiliki opini yang berbeda.
Belum puas saya belajar nilai-nilai kehidupan dari mereka, hari untuk pulang telah datang. Meski kunjungan saya terasa singkat, namun banyak sekali hal yang saya dapat: dari makanan enak plus sehat, sampai nasihat kehidupan yang berharga. Bahkan dari mereka, saya pun kembali menemukan semangat untuk merampungkan tesis dan bersegera menyiapkan koper untuk petualangan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H