silam serpihan peluru dengan riang menggali luka, di dadamuÂ
safarimu lusuh, koyak. Mengalir darah, airmata, membentuk parit kecil, amis.Â
Demi kemerdekaan desa, bangsaku nyawamu satu dikorban.Â
Entahlah, kau milik siapa?Â
Di hari ini, perjuangan dan buah gagasmu, lenyap bersama kematianmu.Â
Adalah kebesaran selalu-seiring dengan kematian.Â
Dikau menegas muasal, pancasilalah wasiatmu serupa museum lengah, pancasila sepi dilaku dan tindak.Â
Barangkali pancasila sekadar burung murung, terbang dari negeri Etopia, kemudian tersesat di angkasa Nusantara?Â
generasiku, ataupun di mulut pejabat, pancasila gagap dalam wicara dan wacana.Â
Pancasila taklebih dari sehimpun gagasan liar, binal, dan banal.
Bagitu miris, nurani terpojok, terperosok pancasila taklagi museum---gubuk etis, etos, dan walas asih.Â