Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Natal Berdarah

25 Desember 2016   23:26 Diperbarui: 25 Desember 2016   23:56 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Beta mohon! Dia orang Geser, katong Kei pung pela[2]”. Kau masih saja mengulang-ulang katamu itu. Seiring sejalan dengan tangismu yang meledak.

Aku tak tahu berapa banyak orang-orangmu mati terbunuh di tangan orang-orangku yang beringas? Tetapi yang pastinya, aku akan mati terbunuh di mukimmu, sekarang, di hadapanmu.

Tetiba saja sebilah parang diayun begitu cepat, hampir saja tubuhku terbelah. Hanya saja kau terlalu cepat dengan gerakanmu yang tangkas. Aku pun masih bisa menghembuskan sisa nafas di tenggorokan. Namun, parang kembali diayun. Kali ini tak bisa dihindari lagi. Sekuat tenaga kau mendorongku pergi, hingga secepat itu parang yang diayun jatuh menimpali tubuhmu. Kau pun ditebas orang-orangmu sendiri.

Darahmu bersimbah ruah, kau tampak meringis kesakitan. Nafasmu begitu sekarat. Semua orang panik, apalagi Ayah dan Ibumu. Sempat kutengok, dalam keadaan yang sekarat, kau masih sempat menyuruhku lari sekuat tenaga.

Aku tak tega meninggalkanmu seorang diri tergeletak berlumuran darah. Namun, apatah lagi kau menyuruhku pergi. Keputusan yang kubuat hari itu, sampai saat ini aku masih terus mengutuk diriku sendiri. Kenapa, bukan aku saja yang terbunuh? Kenapa harus kau, Alex?

Kau terlalu setia pada sumpah itu: “Angalo Day’o, Keio Aro’o, akalo kau, hukumo kau—Angar, Day, Kei, Aru, kau memiliki akal dan hukum, pergunakanlah dengan baik. Saling menjaga dan melindungi”. Sumpah inilah yang ditumbuhkan leluhur. Akibatnya dengan itu, kau menuai kematianmu.

Sungguh malang nasibmu, Alex. Kau menutup usiamu yang terlalu dini. Saking patuh pada sumpah leluhur, kau korbankan nyawamu yang satu. Mungkin mereka bertanya, begitu pentingkah sumpat itu? Aku masih mengingat itu, Alex.

Kau dengan lantang berkata pada orang-orang yang mencoba-coba mengusik pela—persaudaraan kita.

“Jika agama tak memuliakan kemanusiaan, cukup saja kita panas pela.[3]Lupakan agama itu.”

Kau begitu yakin, dengan pelayang berwajah kemanusiaan dan cintakau akan bersua dengan Tuhan.

“Bukan di geraja atau masjid, tetapi kemanusiaan dan cinta kita bersua denganNya.” seperti inilah imanmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun