Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Serial 1: Panggil Aku Binaya

30 Agustus 2016   20:26 Diperbarui: 3 September 2016   10:41 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukannya aku tak mematuhi pinta kedua orangtuaku. Tetapi, menjadi seorang petualang, mirip-mirip belati menyetubuhi jantung, memerah, lalu nafas sekarat. Menurutku, menjadi seorang petualang alam bebas, sama saja kita telah menyerahkan hidup demi sebuah kematian. Atau, terkadang aku berpikir sejatinya seorang pembunuh adalah orang-orang terdekat kita, meniadakan segala kehendak kita dan menggantikannya dengan kehendak mereka. Seperti inilah, cara ayah membunuhku, bukan dengan meniadakan nyawaku, tetapi, perlahan-lahan dengan memaksaku menjadi seorang petualang.

Seperti ayah, kumiliki komitmen yang keras.

Aku terus menolak, jika dipaksa menjadi seorang petualang, sebab bukan duniaku. Aku selalu percaya, perihal hidup, tiap manusia berjalan pada takdir dan dunianya sendiri-sendiri.

Duniaku adalah dunia keheningan, di perpustakaan atau ruang-ruang senyap, jiwaku tinggal. Di sana, telah matang kubekali diriku dengan membaca, berdiskusi, hingga terlibat di dalam gerakan-gerakan literasi. Dan, telah kupastikan diriku nyaman bersama dunia ini.

Namun, begitulah orangtua, katanya lebih mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk bagi anaknya. Bagi kedua orangtuaku, terutama ayahku, dunia ini telah merampas segala hal dariku, dari wawancara kerja yang tak kunjung datang, jodoh yang masih dipeluk Tuhan, sampai-sampai aku tidak memiliki kebebasan dicecap. Tak seperti dunia mereka yang penuh warna-warni. Dunia petualang, di sanalah kebebasan dipetik.

Bak, gunung berapi yang melumat lahar, aku berkata pada ayah.“Ayah, aku lebih damai di sini, bersama buku-buku. Aku tak mau lari dari kenyataan hidup. Di sini, aku bisa berbagi bersama mereka yang membutuhkan.”

Tetapi apa yang dibalas  ayah. “ Maling Kundang, tak lagi tinggal dalam legenda, tetapi di rumah kita, dia adalah kau, Nak.” Ucapnya penuh kesal.

 Aku tak ingin dikutuk seperti Maling Kundang yang bernasib malang. Di sisi lain juga, aku tak ingin dirampas kemerdekaanku sebagai manusia.

Menurutku, perihal berbakti kepada kedua orangtua, tiap orang memiliki kamusnya sendiri-sendiri untuk dirujuk. Sebagian besar orang berpendapat bahwa menjadi anak yang berbakti meski menuruti segala aturan yang dibuat kedua orangtua. Bagi kedua orangtuaku, menjadi anak yang baik dengan menjejaki jalan mereka, sebagai seorang petualang, itulah sebaik-baik pengabdian terhadap mereka. Tentulah, aku memiliki pemahaman dan cara berbeda perihal berbakti kepada kedua orangtuaku. Bagiku, berbakti kepada orangtua tak semestinya menjejaki jalan mereka. Dengan membaca yang banyak, terlibat dalam gerakan pencerahan, dikemudian hari berguna bagi orang banyak. Itulah pegabdian menurutku.

Namun, cara pandangku ini tak bertahan lama, seperti menit yang menyempurnakan denyut dengan kematian.

 Tibalah di suatu hari yang benar-benar berbeda. Semua hal yang kupertahankan selama ini, seperti dihadang badai yang besar, hingga memporak-poranda, lalu hilang begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun