Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Serial 1: Panggil Aku Binaya

30 Agustus 2016   20:26 Diperbarui: 3 September 2016   10:41 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seperti biasanya di akhir pekan, telingaku selalu dijamah kemolekan gunung dan lembah yang ditumbuhi pohon anggrek nan indah. Sebenarnya, bukan itu yang mau kudengar. Tetapi, kenapa kedua orangtuaku lebih betah di gunung daripada di rumah? Kenapa mereka rela meninggalkanku seorang diri, selama sepekan, demi kemolekan gunung? Atau, kenapa ayah dan ibuku terus memaksaku menjejaki jalan mereka, sebagai seorang petualang?

Sudah lama kusimpan baik-baik pertanyaan ini. Namun, kali aku tak kuasa membendungnya lagi, seperti awan yang tak kuasa menampung butir-butir air, lalu menumpahi  menjadi hujan.

 “Ayah, kenapa…” Suaraku masih tertahan di rongga mulut. Secepat kilat, ayah lalu memotongnya.

Seperti mengetahui maksudku.

“Kunamaimu, Binaya, kelak kau mendapak jalan kami, jadilah seorang petualang, Nak.” Suara ayah lirih.

Saking cintanya pada gunung, hingga perihal pemberian nama, ayah menamaiku, Binaya. Sebuah nama yang diambil dari  nama sebuah gunung di kota tempat aku dilahirkan, gunung Binaya. Jika Shakespeare, dramawan Inggris, risih menyoal what is a name?Apalah arti sebuah nama?Hal berbeda dengan ayahku, menamaiku Binaya, harapannya kelak aku menjadi seorang petualang, seperti dirinya.

Lamat-lamat kubiarkan kalimat itu berlalu, seperti angin menerbangkan debu, lalu tiada.

Sejenak, kutatap wajah ayah dalam-dalam, terlihat guratan keseriusan menggantung di sana, bak cermin memantulkan guratan keseriusan yang sama. Kutarik nafas dalam-dalam. “Ayah telah mengusik hidupku dengan takdir yang dibuat ayah, atas diriku.” Jeda, kutata nafas, lalu kata. “Petualangan alam bebas bukanlah duniaku, bukan pula takdirku”. Getar suaraku, seperti petir yang memecah semesta.

Sejak saat itu pula, di rumah seperti di neraka.

 Pertentangan hadir di awal waktu, seperti bangsa Jin terhadap Tuhan. Lalu, kami, aku dan kedua orangtuaku. Pertentangan dan penyesalan begitu apik kupelihara, kubiarkan bermukim di batinku.

“Andai saja saat itu, secuil kebebasan  diberikan Tuhan, kepadakku, aku tak mau memilih lahir dari kantong rahim seorang petualang. Namun, kelahiran adalah sebuah kutukkan bukan pilihanku, maka saat ini aku telah tertawan petualang sebagai garis hidup yang harus kutunaikan, meskipun jiwaku tak di sana. Gumamku, dalam hati.

Bukannya aku tak mematuhi pinta kedua orangtuaku. Tetapi, menjadi seorang petualang, mirip-mirip belati menyetubuhi jantung, memerah, lalu nafas sekarat. Menurutku, menjadi seorang petualang alam bebas, sama saja kita telah menyerahkan hidup demi sebuah kematian. Atau, terkadang aku berpikir sejatinya seorang pembunuh adalah orang-orang terdekat kita, meniadakan segala kehendak kita dan menggantikannya dengan kehendak mereka. Seperti inilah, cara ayah membunuhku, bukan dengan meniadakan nyawaku, tetapi, perlahan-lahan dengan memaksaku menjadi seorang petualang.

Seperti ayah, kumiliki komitmen yang keras.

Aku terus menolak, jika dipaksa menjadi seorang petualang, sebab bukan duniaku. Aku selalu percaya, perihal hidup, tiap manusia berjalan pada takdir dan dunianya sendiri-sendiri.

Duniaku adalah dunia keheningan, di perpustakaan atau ruang-ruang senyap, jiwaku tinggal. Di sana, telah matang kubekali diriku dengan membaca, berdiskusi, hingga terlibat di dalam gerakan-gerakan literasi. Dan, telah kupastikan diriku nyaman bersama dunia ini.

Namun, begitulah orangtua, katanya lebih mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk bagi anaknya. Bagi kedua orangtuaku, terutama ayahku, dunia ini telah merampas segala hal dariku, dari wawancara kerja yang tak kunjung datang, jodoh yang masih dipeluk Tuhan, sampai-sampai aku tidak memiliki kebebasan dicecap. Tak seperti dunia mereka yang penuh warna-warni. Dunia petualang, di sanalah kebebasan dipetik.

Bak, gunung berapi yang melumat lahar, aku berkata pada ayah.“Ayah, aku lebih damai di sini, bersama buku-buku. Aku tak mau lari dari kenyataan hidup. Di sini, aku bisa berbagi bersama mereka yang membutuhkan.”

Tetapi apa yang dibalas  ayah. “ Maling Kundang, tak lagi tinggal dalam legenda, tetapi di rumah kita, dia adalah kau, Nak.” Ucapnya penuh kesal.

 Aku tak ingin dikutuk seperti Maling Kundang yang bernasib malang. Di sisi lain juga, aku tak ingin dirampas kemerdekaanku sebagai manusia.

Menurutku, perihal berbakti kepada kedua orangtua, tiap orang memiliki kamusnya sendiri-sendiri untuk dirujuk. Sebagian besar orang berpendapat bahwa menjadi anak yang berbakti meski menuruti segala aturan yang dibuat kedua orangtua. Bagi kedua orangtuaku, menjadi anak yang baik dengan menjejaki jalan mereka, sebagai seorang petualang, itulah sebaik-baik pengabdian terhadap mereka. Tentulah, aku memiliki pemahaman dan cara berbeda perihal berbakti kepada kedua orangtuaku. Bagiku, berbakti kepada orangtua tak semestinya menjejaki jalan mereka. Dengan membaca yang banyak, terlibat dalam gerakan pencerahan, dikemudian hari berguna bagi orang banyak. Itulah pegabdian menurutku.

Namun, cara pandangku ini tak bertahan lama, seperti menit yang menyempurnakan denyut dengan kematian.

 Tibalah di suatu hari yang benar-benar berbeda. Semua hal yang kupertahankan selama ini, seperti dihadang badai yang besar, hingga memporak-poranda, lalu hilang begitu saja.

Ya, sebuah keadaan yang merengkuh diriku dalam perihal memilih; keharusan memenuhi permintaan ayah sebagai seorang petualang? Ataukah, tetap mempetahankan komitmenku sebagai seorang pegiat literasi?

Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun