"Ray, jangan halangi aku untuk menghukum gadis bermulut tajam ini. Atau kau akan menyesal."
  .Aku tak memedulikan ancaman si bocah iblis. Dadaku bergetar hebat. Aku merasa mual dan pening. Ada sesuatu kekuatan yang berusaha meregangkan dadaku. Aku menatap dadaku penuh kengerian. Sedikit demi sedikit aku merasa dadaku terbuka.
  Tama melompat ke wajah bocah iblis untuk memecah konsentrasinya. "RAY, RANKO, LARI!"
     Bocah iblis mengibaskan tangan kanannya. Tama pun langsung terjatuh.
    Aku merasa dadaku hendak meledak karena ditarik dari dua arah. Bukan hanya dadaku yang sakit, melainkan kedua mataku yang membara. Jantungku seperti dirogoh.
  "Ray, kau tak akan mampu melawanku. Kau sungguh keras kepala," ujar bocah iblis.
  Saat aku hampir menyerah, tiba-tiba aku teringat mantera Kakek Fandi. Kuhentakkan kaki kananku tiga kali sembari mengucapkan mantera. Maung pundung datang derung. Tulung abdi katurunan pituin anjeun. Ridhona Gusti Allah Swt. (Harimau marah datanglah. Tolong saya yang merupakan keturunan asli Anda. Ridho-nya Allah Swt.)
  Berbeda dengan dugaanku, kedua mataku semakin membara. Dari ujung kepala hingga kaki, aku merasakan aliran energi yang sangat kuat. Aku menatap bocah iblis yang tampak begitu kecil dan rapuh. Mudah sekali bagiku untuk mencabik dirinya.
  "JANGAN! JANGAN DEKATI AKU! PANAS!" Seru bocah iblis ketakutan. Mata emasnya tampak liar.
Tak memedulikan teriakan si bocah iblis, aku meraung dan melompat ke arahnya. Tapi, bocah iblis itu meledakkan dirinya hingga menjadi serpihan debu.
    Aku tertegun. "Apa ia sudah lenyap?"