"Anak muda zaman sekarang begitu tak sopan. Membicarakan dan menganalisisku seperti aku tak berada di hadapan kalian," gerutu bocah iblis. "Ranko, walaupun aku bocah iblis, aku ini masih keluarga Ray."
Ranko ternganga. Tapi dalam keadaan mulut mangap pun, ia masih terlihat imut. "Benarkah hal yang dikatakan si bocah?"
Aku menganggukkan kepala dengan berat hati. Bagaimanapun mengerikannya suatu kebenaran, hal tersebut tak dapat disembunyikan.
    "Ray, kau merahasiakan hal sepenting ini? Kau juga Tama? Mengapa kalian tak memberitahuku?" Protes Ranko gusar. "Sungguh diskriminasi! Apa kalian menyepelekanku karena aku perempuan?"
   "Ranko Sayang, Ray masih merasa sulit menerima kenyataan ini," sahut Tama diplomatis. Hantu kucing ini menyeringai dan menatapku dengan penuh makna. Mulutnya sedikit berkedut pertanda ia menahan tawa. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Ia pasti menduga aku malu mengakui kerabatku menjadi iblis. Mana ada gadis yang menyukai pemuda yang keluarganya memiliki noda kelam.
   "Aku tak bermaksud merahasiakannya," ujarku pelan dengan nada bersalah. "Tapi, segala hal berlangsung sangat cepat bak meteor. Aku belum sempat mengisahkan kisah kelam keluargaku padamu."
Ranko merengut. "Ray, kita kan sahabat. Seharusnya, kau langsung mengatakannya dengan jujur. Bukan baru berterus terang saat terdesak."
"Maafkan aku, Ranko."
"Jangan kau ulangi lagi!" Tegas Ranko.
Bocah iblis mengamati mimikku dan Ranko dengan cermat. Kemudian, ia berkata, "Aku sudah menyatakan keinginanku dengan jelas. Aku ingin tinggal bersama dengan Ray. Bagaimana jawabanmu, Ray? Kau mau, kan?"
Aku bergeming. Terus terang aku bukan orang yang pandai berdiplomasi. Apalagi berbicara dengan iblis sungguh menguras otak.