Kedua mata bocah iblis berubah menjadi emas dan berbinar penuh ancaman. Ekspresi wajahnya sekaku baja. "Kau sudah menghindari pertanyaanku selama seminggu. Apakah begitu berat bagimu untuk mengabulkan permintaan sanak keluargamu sendiri?"
Aku tergagap. Duh, susah sekali lidah ini untuk berkelit. Komunikasi memang bukan keunggulanku.
"Maaf, aku tak bisa. Kita tak sejalan," jawabku.
Bocah iblis menggertakkan giginya. "Kau sama saja dengan Andri. Saudara kembarku itu begitu lurus dan idealis. Tak seperti janjinya ketika aku masih hidup bahwa kami tak akan terpisah. Kenyataannya, ia orang pertama yang ingin menghancurkanku begitu tahu diriku menjadi iblis."
"Jadi, Andri yang mengurungmu dalam Jurnal Hantu?" Tanyaku penasaran.
"Aku benci mengingatnya. Orang yang paling kucintai ialah orang yang mengkhianatiku."
"Itu cara Andri mencintaimu. Ia tak ingin kau memakan korban terus-menerus," ujar Ranko penuh percaya diri. "Setidaknya, kau selalu bersamanya saat terperangkap dalam Jurnal Hantu. Bukankah ia selalu membawa Jurnal Hantu ke mana pun ia pergi seperti Ray?"
Bocah iblis menggeram. Dalam sekejap karakteristik aslinya yang buas tampak. Ia menyeringai dan memamerkan gigi taringnya yang runcing. "Gadis kurang ajar dan sok tahu. Siapa kau? Sungguh berani kau menghujatku. Saat aku terperangkap dalam jurnal kumal itu, Andri hanya menyimpan jurnal itu di dalam peti selama bertahun-tahun. Mana pernah ia mengingatku yang sengsara karena jenuh. Tak pernah sekali pun ia mengajakku berbicara padahal ia bisa menemuiku dalam lembaran Jurnal Hantu. Ia melupakan segala hal yang berkaitan dengan diriku."
Ranko menjerit ketika kuku panjang bocah iblis itu menggores lehernya yang putih. Ia tak berani berbicara sepatah kata pun.
"Mudah sekali bagiku untuk merenggut nyawamu. Mudah sekali untuk membawamu ke neraka," ujar bocah iblis dengan gusar.
    Ketika bocah iblis menjulurkan kedua tangannya ke depan, aku membiarkan tubuhku menjadi perisai hidup bagi Ranko, gadis kawaii (imut) yang telah mencuri hatiku.