"Ranko, apa kau melupakan suatu hal?" Tanya Tama dengan kalem. Si hantu kucing ini memang bernyali besar. Ia berani mengkonfrontasi identitas si bocah iblis.
Ranko membelalakkan sepasang matanya yang berbentuk bulan sabit terbalik. "Melupakan apa? Aku tak melupakan pesananmu, Tama Sayang. Ini snack baby fish kesukaanmu."
Tama menyeringai. Bukannya menjelaskan maksud pertanyaannya, ia malah menggigit bungkusan snack favoritnya dan asyik menyantapnya di atas bantal kesayanganku. Berkat Tama, aku sudah terbiasa tidur dengan remahan ikan. Ranko yang cinta kebersihan, mengerutkan kening melihat Tama yang makan di tempat tidur. Ia sudah membuka mulut hendak melarang, tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat ekspresi Tama yang antusias. Apalah arti remahan dibandingkan kebahagiaan seekor hantu kucing?
  Si bocah iblis pun tersenyum melihat keluguan Ranko yang tak menyadari ia ialah iblis. Aku heran bocah iblis ini tak langsung menyerang Ranko yang merupakan sasaran empuk. Apakah ia senang bermain-main dahulu dengan calon korbannya seperti seekor singa yang bermain dengan anak rusa sebelum menyantapnya? Harus kuakui senyum bocah iblis ini begitu polos menipu pandangan. Ia terlihat tak berbahaya sama sekali.
"Ada apa sih? Mengapa kalian bertiga tersenyum? Terutama kau, Ray. Mengapa senyummu sekecut cuka?" Tanya Ranko penasaran. Ia merengut sembari berkacak pinggang. "Kalian merahasiakan sesuatu, ya?"
Mau tak mau aku merasa geli juga. Karena merasa dirinya ialah keluargaku, si bocah iblis berusaha menyesuaikan diri sealami anak manusia dan menekan insting iblisnya. Tapi, aku tak mau gegabah. Bisa saja ini akal bocah iblis untuk terlihat jinak. Dan kemudian, ia menyerang titik kelemahan kami.
"Ini tak lucu. Mengapa tak ada yang menjawab pertanyaanku?" Tanya Ranko dengan bingung.
Aku menyugar rambutku. "Ranko, kau ini indigo sehingga mudah terpengaruh makhluk halus. Tak ada sekat antara indigo dan makhluk halus. Bocah yang kau bawa ini bukan manusia, tapi iblis."
Ranko terkesiap. Ia memandang si bocah iblis dengan penasaran. "Aku tak percaya. Tadi aku menggendongnya. Tubuhnya padat dan hangat. Kedua kakinya pun menapak. Aku bisa menjamin ia benar-benar manusia."
Tama mendengus. "Iblis memang seperti itu. Tapi, gerakan iblis tetap saja agak kaku."