Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 35 - Cermin

28 September 2024   03:14 Diperbarui: 28 September 2024   03:19 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria bertubuh tinggi besar itu mengacak-acak rambut dengan gusar. "YA, AKU TAK MENGERTI JALAN PIKIRANMU. BESOK PAGI KUANTAR KAU KE RUMAH SAKIT JIWA DI KOTA."

    Tanpa mengindahkan perkataan suaminya, si istri memejamkan mata. Ia hendak menusuk perutnya sendiri. Pada saat yang kritis, sang suami berusaha merebut pisau. Tapi, ia malah tertikam dan jatuh ke lantai dengan tubuh bersimbah darah. Kemudian, perempuan tersebut melolong histeris. Suaranya sungguh menyayat hati. Ia memeluk suaminya yang sudah tak bernyawa.

      Seperti tsunami, dalam sekejap ekspresi kesedihan perempuan tersebut berubah menjadi kebencian. Dengan darah dingin, ia mencabut pisau yang menancap di perut suaminya. Sebelum ia berhasil melakukan niatnya, perutnya mengalami kontraksi hebat. Akibat sakit yang tak tertahankan, ia menjatuhkan pisau yang digenggamnya. Ia pun melahirkan sepasang bayi kembar laki-laki tampan yang sehat tanpa bantuan siapa pun. Mereka menangis kencang seolah-olah menyesal meninggalkan buaian rahim.

     Dengan napas terengah-engah, ibu muda tersebut menatap bayi kembarnya. Ia terlampau lelah untuk melaksanakan niat membunuhnya. Bayi yang satu bermata cokelat keemasan. Sedangkan bayi lainnya bermata sebelah kiri cokelat kelam dan sebelah kanan abu-abu. Wajah kedua bayi tersebut tak serupa walaupun kembar. Sosok mereka bertiga pun memudar.

      Adegan berganti menjadi dua anak kecil berumur 7 tahun yang sedang bermain di tepi sungai. Bocah bermata cokelat keemasan menyiksa kelinci putih. Ia bergeming walaupun saudara kembarnya menghalangi perbuatan jahatnya dan berusaha merebut hewan manis tersebut. Pergumulan pun tak terhindarkan. Di waktu yang lain, kedua bocah cilik tersebut saling berpelukan karena kedinginan. Seorang perempuan tua memakai celemek putih, mengecup kening mereka berdua dengan penuh kasih sayang. Ia menyanyikan lagu Nina Bobo dengan lembut. Di luar jendela kamar tidur mereka, hujan begitu deras bagaikan tumpahan bergentong-gentong air. Segalanya pun menghilang dalam kabut.

    Aku tertegun. Cermin menampilkan sang ibu si kembar berada dalam ruang rawat rumah sakit jiwa. Tatapan matanya yang kosong menimbulkan rasa iba seolah-olah jiwanya sudah melayang pergi meninggalkan tubuhnya. Tangannya mengepal-ngepal persis tingkah bocah cilik yang sedang marah. Bibirnya yang tipis berkomat-kamit, "Aku harus membunuh bocah iblis itu. Waktunya sudah dekat. Aku harus membunuhnya sebelum semuanya terlambat. Tapi aku terkurung di sini. Bagaimana aku membunuhnya?" Kemudian, ia menggedor pintu sembari berteriak, "AKU TIDAK GILA! PERAWAT, KELUARKAN AKU DARI SINI!"

     Adegan lain merupakan mimpi buruk. Darah. Banyak darah di mana-mana. Darah menodai sofa, dinding, dan lantai ruang tamu. Mayat perempuan tua tertelungkup di depan pintu dapur yang terkunci. Ia melindungi pintu itu hingga titik darah penghabisan. Wujud cinta tulus sang perempuan tua untuk si kembar yang sekarang menginjak usia 10 tahun. Keduanya meringkuk ketakutan di dalam lemari dapur. Tubuh kurus mereka gemetar ketakutan ketika terdengar bunyi pintu dapur yang dibuka perlahan.

KRIIIIET!

Dari celah lemari dapur, kedua bocah kembar bisa melihat ibu mereka masuk ke dalam dapur. Ia menggunakan baju pasien berwarna biru muda polos. Waktu tak menghapus kejelitaan ibu mereka, tapi wajahnya yang tanpa ekspresi bagaikan patung,sungguh menciutkan hati. Ia menggenggam sebuah tang besi yang ujungnya berlumuran darah segar. Jeritan hampir lolos dari mulut mungil si bocah bermata cokelat dan kelabu, jika saudaranya tak segera mendekap mulutnya. "Diam, Andri, kau ingin Ibu membunuh kita berdua?" Bisik Fero. Andri menggelengkan kepala. Air mata tak henti-hentinya jatuh dari matanya.

Si ibu mengelilingi dapur dengan pandangan matanya yang waspada. Mudah saja baginya untuk menganalisis bahwa lemari dapur merupakan tempat persembunyian si kembar. Ia menghampiri sarang persembunyian si kembar.

Jantung Andri serasa berhenti berdetak. Ia merasa riwayat mereka akan berakhir dalam hitungan detik. Berbeda dengan Andri yang pesimis, Fero menatap celah lemari dapur dengan mata menantang. Ia mencintai hidup walaupun hidup tak ramah baginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun