Irma menatap buku berjudul Jurnal Hantu tersebut dengan nanar. Kemudian, matanya meredup seperti lampu neon yang akan mati. Punggung Irma bersimbah darah segar seperti pancuran. Tak urung Ranko merasa mual melihat Irma yang sekarat.
Pria bertopeng itu membungkuk untuk mengambil Jurnal Hantu yang berada di depan wajah Irma. Irma yang nekat, memanfaatkan kesempatan itu. Tangan kanannya yang gemetar berhasil merenggut topeng. Tapi pria itu kembali menusuknya dengan membabi buta hingga Irma menemui ajalnya.
   Jeritan kecil lolos dari mulut mungil Ranko. Ia tak mungkin salah mengenali wajah pria yang telah membunuh Irma dengan begitu keji. Ray. Itu jelas wajah Ray. Tapi, Ranko tak mengenali kegilaan di mata Ray yang dingin.
Tiba-tiba Ranko kembali diselubungi lautan asap hitam. Ia pun merasa paru-parunya ditusuki ribuan jarum hingga ia memejamkan mata untuk menahan sakit. Ketika rasa sakitnya mereda, ia membuka mata secara perlahan-lahan. Hantu Irma sedang menatapnya dengan seksama. Senyum misterius bermain di bibirnya.
"Bagaimana? Apakah kau bisa membantuku untuk menemukan pembunuhku?" Tanya Irma.
Ranko menghela napas. "Aku tak bisa membantumu."
"Mengapa tidak bisa?"
"Bagaimana jika kau menipuku dengan halusinasi adegan pembunuhan? Apa buktinya bahwa rekonstruksi pembunuhan itu benar-benar terjadi dan bukan rekayasamu?
Irma tertegun. Ranko memang gadis keras kepala yang sulit diyakinkan. Oleh karena itu, Irma berkata, "Tampaknya kau lebih membela sang pembunuh dibandingkan sang korban. Apa kau mengenali pembunuhku?"
Kali ini Ranko yang terpana. Lidahnya terasa kelu. Apa yang harus ia jawab?
________