Irma yang kehabisan akal, membelit tubuh Ranko dan menggantungnya di udara hingga kepala Ranko berada di bawah. "Gadis indigo jahat! Aku sudah merendahkan diri untuk memohon pertolongan, tapi kau tak memiliki rasa empati sedikit pun."
Ranko melihat ratusan ular kobra yang siap menyambarnya. Ia tahu itu semua hanya halusinasi. Tapi, tak urung ia merasa ngeri juga melihat geliatan ular-ular tersebut.
"Baiklah, apa yang kau inginkan?" Tanya Ranko dengan waswas. Ia menganggap Irma termasuk golongan hantu sableng yang egois.
Dengan senyum penuh kemenangan, Irma melenyapkan seluruh ular kobra itu. Kemudian, menurunkan Ranko ke atas kasur dengan lembut. "Aku akan memperlihatkan adegan pembunuhanku. Â Mungkin kau akan memperoleh petunjuk. Kuharap kau bisa membantuku mencari pembunuhku."
Belum sempat Ranko menolak, Irma sudah menjentikkan jarinya. Tiba-tiba Ranko merasa dadanya sesak. Paru-parunya terasa terbakar. Sekujur tubuhnya diselubungi asap hitam. Saat asap tersebut memudar, ia berdiri di gang menyeramkan saat ia pertama kali bertemu dengan Irma. Jantungnya berdebar kencang ketika melihat Irma yang sedang telungkup sembari terisak. Cahaya lampu jalan yang temaram menunjukkan siluet wajah yang bertopeng hitam. Pria itu berdiri di sisi Ranko. Ia menendang Irma. Kemudian, ia menginjak kedua tangan Irma berkali-kali.
"Tolong lepaskan aku! Aku janji akan memberikanmu banyak uang."
"Tidak. Aku tak perlu uang. Aku hanya memerlukanmu untuk melakukan ritual sihir," seru suara yang tak asing bagi Ranko. Tak mungkin itu suara Ray. Ini hanya ilusi.
"Jangan potong rambutku!"
"Diamlah! Atau, kubunuh kau sekarang?" Seru pria bertopeng itu sembari menjambak rambut Irma yang menjerit kesakitan.
Tanpa sadar Ranko berusaha melerai mereka. Ia terkejut karena kedua tangannya menembus tubuh pria bertopeng itu. Oh ya, ia sedang berada dalam flash back rekonstruksi pembunuhan Irma. Seharusnya, ia tetap bersikap tenang dan menganalisis situasi.
Dengan cekatan, pria bertopeng itu memotong rambut panjang Irma yang indah dan memasukkan rambut tersebut ke dalam sebuah kantung biru. Ia mendekap kantung biru tersebut seolah-olah berlian. Â Ia tak menyadari mata Irma berkilat penuh kebencian. Dengan nekat, Irma menghantam kepala pria tersebut dengan sebuah batu. Tapi, pemberontakan Irma gagal total. Tepat ketika kedua tangan Irma ditelikung, sebuah buku terjatuh dari saku pria tersebut.