Aku terkekeh. Ada angin apa hingga Ranko bertingkah sangat agresif?
Ranko menyelusupkan jari tangan kirinya ke belakang helmku. Kemudian, ia menjilat belakang leherku perlahan hingga aku terkesiap. Aku melirik wajah cantik Ranko yang membara di kaca spion. Matanya berkilat-kilat.
"Kau suka, kan?" Tanyanya dengan nada penuh kepuasan. "Ingin kulanjutkan?"
Aku mendehem kikuk. "Kata Nenek, jika berdua gelap-gelapan, yang ketiga ialah setan. Please, Eve. Jangan goda imanku yang lemah ini!"
Ranko terkikik mendengar penolakan halusku. Kemudian, ia menggigit leherku keras-keras hingga aku mengaduh.
 "Aduh, lepaskan! Sakit!"
    Ranko bergeming. Ia tak melepaskan cengkeraman giginya hingga motor memasuki pekarangan rumah Tuan Kamizawa, ayahnya Ranko.
"Ranko, cepat lepaskan aku. Malu jika dilihat ayahmu dan Pak Rangga. Belum lagi jika ada tetangga yang melihat," seruku panik. Lampu teras rumah Ranko menyala terang. Siapa pun yang melihatku dan Ranko dalam posisi seperti ini pasti akan berprasangka buruk.
Tak mengindahkan peringatanku, Ranko menancapkan giginya lebih dalam. Aku merasa seperti ditusuk stiletto. Gelegak panas terasa di belakang leherku hingga tanpa sadar aku mencengkeram bahu Ranko. Ia menjerit marah dan akhirnya melepaskan gigitannya.
"Kau mau ke mana?" Tanyaku terkejut ketika Ranko melompat ke pohon mangga besar yang tumbuh di samping rumahnya.
Tuan Kamizawa panik melihat Ranko yang sedang memanjat cabang tertinggi pohon mangga tersebut. Rupanya, Ranko bermaksud melompat dari pohon mangga tersebut ke teras kamar tidurnya. Jika hal tersebut ia lakukan, tentu ia akan terluka sangat parah karena menghantam kaca dan berisiko jatuh dari ketinggian sekitar 5 meter.