Di luar dugaanku, Ranko menganggukkan kepala dengan antusias. Ia merasa lapar. Sangat lapar hingga rasanya ia bisa menghabiskan sepanci besar ramen. Ia menyumpit potongan Narutomaki yang terakhir.
Aku terpana melihat Ranko menyeruput habis kuah cream kental mangkuk ramen yang kedelapan hingga tersedak. Aku menepuk-nepuk punggungnya dan memberikan segelas besar Es Frappuchino-ku. Ia langsung mereguknya habis. Â Matanya menatapku penuh terima kasih.
    Saat menatap nota sebesar Rp 475.000,00, aku pun terperanjat. Untung, honorku sudah cair dan bisa membayar tagihan. Tapi tak mengapa honorku melayang begitu saja asalkan Ranko sehat kembali. Sekarang pipi Ranko merona merah. Matanya pun sudah berbinar.
   Entah kerasukan apa Si Ranko ini. Malam ini makannya banyak sekali. Biasanya, ia hanya bisa makan semangkuk ramen. Itu pun dengan kekuatiran ia akan menjadi gemuk. Aku sudah terbiasa dengan celotehan gaya hidup sehat yang harus ia terapkan. Ia harus menjaga kelangsingan tubuhnya dan berolahraga untuk membakar lemak tubuh.
***
Sepanjang perjalanan motor yang kubawa terasa begitu berat. Aku melirik Ranko yang duduk anteng di boncengan. Apa karena Ranko makan 8 mangkuk ramen? Motorku yang butut terseok-seok menuju rumah Ranko yang terletak di atas bukit.
Di tengah perjalanan Ranko membuka helm. Aku bisa melihatnya dari kaca spion motor. Angin sepoi memainkan rambutnya yang terurai indah.
"Ran, mengapa kau buka helm-mu? Itu berbahaya," nasehatku.
"Panas."
    "Bahaya."
   "Jangan cerewet!" Timpal Ranko. "Masih muda saja sudah seperti kakek. Apalagi ketika kau sudah keriput dan tua bangka."