"Aneh sekali. Apa kita diganggu pocong yang sama?"
"Sepertinya begitu. Lalu, bagaimana kelanjutan ceritamu?" Desak Ranko.
"Di setiap ujung batang bambu yang berdiri tegak itu ada pocong. Jadi, aku melihat banyak sekali pocong berkain kafan merah muda. Tapi yang paling menyebalkan ialah pocong merah muda berkumis tebal itu. Ia melompat turun dan menghadang motorku. Sepertinya, ia pemimpin para pocong karena ia bertubuh paling besar. Aku langsung berbalik arah, tapi ia membuat motorku mogok. Kemudian..." Mia bergeming.
"Kemudian? Ceritanya jangan terputus-putus," pinta Ranko dengan mata berbinar.
"Ini aib besar dalam hidupku. Pocong centil itu menciumku. Aku bisa merasakan kumisnya yang kasar menggesek pipiku. Napasnya sepanas api," ratap Mia. Ekspresi wajah Mia begitu menyedihkan.
"Mengapa kau tak lari?" Tanya Ranko. Ia berusaha menawan tawa.
"Bagaimana mungkin aku lari? Badanku kaku, tak bisa bergerak sama sekali."
"Oh begitu."
"Awas ya jika kau ceritakan aku dicium pocong berkumis tebal pada teman-teman sekelas."
Ranko tersenyum jail, "Hidup ini tak gratis. Semua hal ada imbalannya. Fakta kau seorang femme fatale bagi pocong tentu akan menjadi gosip seru."
"Ya, aku sangat mengerti. Apa yang kau inginkan?" Tanya Mia dengan pasrah.