"Nak, kau lapar?" Tanya Nenek Dian sembari tersenyum misterius.
Aku menganggukkan kepala.
"Nenek temani makan, ya?" Tanya Nenek Dian sembari menyendokkan nasi dan mengambilkan sepotong ayam bakar.
Aku celingukan. Tama menghilang lagi. Aku meralat penilaianku bahwa Tama bisa dipercaya. Titik.
Keringat dingin mengucur di tengkukku. Dan siapa yang tidak jika ditatap dengan pandangan misterius oleh seorang nenek tua berumur 90 tahun. Aduh, apa ini sungguh-sungguh Nenek Dian atau Nenek Dian jadi-jadian? Ranko, mengapa kau selalu tidak ada saat aku mengalami kejadian janggal?
"Kau kepanasan? Akhir-akhir ini cuaca memang panas sekali."
Aku mengangguk dengan sopan. Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa mata Nenek Dian serasa membesar dan membakar. Bibir Nenek terlihat begitu merah. Jakunku bergetar dengan susah payah ketika makan dan minum. Rasa lapar dan hausku telah lenyap sejak kedatangan Nenek Dian. Apakah makanan dan minuman ini aman disantap? Tapi bagaimana jika ia benar-benar Nenek Dian? Alangkah tak sopannya jika aku menolak makan dan minum padahal ia tahu aku lapar.
"Makan lagi, Nak?"
"Sudah cukup. Terima kasih banyak."
"Makan lagi, Nak? Makan lagi, Nak? Makan lagi, Nak?" Suara Nenek Dian semakin lama semakin parau. Ia terus mengulangi pertanyaannya seperti radio rusak. Kemudian, hening.
Aku tercengang menatap Nenek Dian yang tiba-tiba pingsan. Kemudian, mulutku terasa lengket. Ugh, mulutku penuh darah segar. Aku berjalan menuju wastafel dan memuntahkan makanan yang baru saja kusantap. Aku mengalami pengalaman horor lagi. Cacing-cacing besar bergerak lincah dari muntahanku.