Nenek Dian menaikkan alis kanannya seolah-olah mempertanyakan mengapa seorang pemuda bisa terjatuh masuk ke dalam kubangan lumpur. Sedangkan, cucu perempuannya lebih sigap.
Aku mendehem dengan gugup. “Tadi ada bebek aneh mengejarku, Nek.”
“Bebek aneh bagaimana? Kau takut dengan seekor bebek?”
“Bebek Kunti, Nek. Tadi kuntinya berkata bahwa ia suka dengan Ray karena Ray menyatakan ia bebek yang manis,” seru Ranko tanpa mempedulikan isyaratku untuk diam.
Nenek Dian terpingkal.
***
Nenek Dian mengajak Ranko dan aku hingga kami kedinginan di halaman belakang rumahnya. Mana seram sekali suasananya. Tidak hanya ada pohon jati besar, tapi sumur tua.
“Tidak ada Sadako-san kan di sumur tua itu?” Bisikku pada Ranko yang langsung dibalas dengan tamparan di tangan.
“Hush, jangan berkata seperti itu. Tentu ada,” kata Ranko sembari menyeringai. “Apalagi jika ada pemuda sepertimu yang telah diakui ketampanannya oleh bebek kunti.”
Aku terdiam. Memang tidak mudah memiliki sahabat indigo seperti Ranko. Harus tahan mental.
“Nak Ray dan Ranko bisa menggunakan kamar mandi itu yang dekat sumur. Ada pancuran bambu di dalamnya dan saluran pembuangannya besar. Kalian kan penuh lumpur. Jika sudah bersih, ada kamar mandi tamu di dalam rumah,” pinta Nenek Dian.