Daun-daun tanaman padi  yang tumbuh hampir setinggi dadaku, menari-nari sesuai irama alam. Belum lagi orkestra jangkrik membuat suasana makin asing bagiku, si anak kota. Tapi, tampaknya Ranko anak alam. Ia tak takut dengan selimut kegelapan.
Tiba-tiba ada suatu makhluk yang berbulu lembut menabrak kakiku sehingga aku menghentikan langkah kakiku dan berteriak, "Aduh, makhluk apa yang menabrak kakiku? Kaukah itu, Tama? Jangan usil!"
"Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Untuk apa aku dekat kakimu yang bau itu? Pasti kaus kakimu belum dicuci seminggu," sindir Tama. Mulut hantu kucing yang satu ini sepedas BonCabe level 30.
Mendengar teriakanku, otomatis Ranko membalikkan tubuh dan menyorotkan senter ke arah kakiku. Tampak oleh mereka berdua, seekor bebek putih dengan paruh yang menyeringai.
"Imut sekali bebek ini. Ia seperti tersenyum pada kita berdua. Tubuhnya begitu montok. Apa ini bebek peliharaan yang lepas dan menyambut kita?" Tanyaku dengan lugu. "Hai, bebek manis. Mengapa kau terlepas dari kawananmu?"
   Aku menatap bebek yang sekarang mendongak padaku sembari berceloteh riang. Ia seolah-olah menjawab pertanyaanku. Bunyinya HOSH HOSH. Kemudian, aku menatap senter yang dipegang Ranko bergetar. "Ranko, mengapa wajahmu pucat pasi?"
"CEPAT LARI. BEBEK ITU BUKAN SEMBARANG BEBEK. BEBEK SAKTI ITU PENJELMAAN KUNTI," jerit Ranko sembari lari dan berbelok ke kanan di persimpangan. "Ia menjawab kau juga MANIS dan ia SUKA padamu. KAU DICINTAI KUNTI."
Tama terbahak-bahak. Ia berbisik pada dirinya sendiri, "Ray tidak pernah gagal membuatku terpingkal. Ia sungguh majikan yang sesuai untukku yang sering jenuh menjalani kehidupan, eh salah, kematian sebagai hantu kucing."
"HEY, TUNGGU," balasku kebingungan. Aku turut mengambil langkah seribu. Tapi, bebek itu tetap bersemangat mengejarku dengan kedua kakinya yang pendek. Kemudian, ia terbang dengan lincah bagaikan pesawat jet Sukhoi.
Bebek manis itu memburuku dengan penuh semangat. Mungkin inilah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Semakin lama jarak antara bebek jadi-jadian tersebut denganku semakin dekat hingga tinggal 1 meter. Kemudian, jaraknya berkurang hingga setengah meter. Aku menoleh dengan cemas pada bebek centil yang terus memburu hingga aku kurang memperhatikan jalan di depanku. Akhirnya, aku tergelincir dan sukses jatuh ke sawah yang penuh lumpur.
"HUEE, SAKIT SEKALI LUTUTKU. HARI INI AKU SIAL SEKALI," keluhku. Sekejap aku merasa pandangan matanya berkunang-kunang. "Sudah tersesat, dikejar bebek aneh lagi."