"Tak ada. Kedua pihak setuju untuk gencatan senjata pada tahun 1953."
      "Berarti berdamai?"
      "Tidak. Secara teknis Korea Utara dan Korea Selatan masih berperang.  Tak pernah ada penandatangan perjanjian perdamaian."
      Eun Hye kecil pun menangis. Ia memeluk erat Halmeoni. "Aku takut perang. Aku takut perang nuklir seperti film Hiroshima yang kutonton minggu lalu."
      Halmeoni mengusap lembut rambut Eun Hye. "Da jal doel geoya (semua akan baik-baik saja). Tuhan pasti melindungi kita. Dunia pun tak akan tinggal diam. Suatu saat perdamaian sejati akan tercapai di Semenanjung Korea."
      "Padahal Korea Utara dan Korea Selatan sama-sama menyantap kimchi. Kata Halmeoni, mereka juga berbahasa Korea walaupun aksennya agak berbeda. Mengapa kita harus berperang? Apalagi memakai nuklir? Aku benci nuklir."
      "Ketika kau dewasa, kau pasti akan jauh lebih mengerti. Yang berbahaya bukan nuklir, tapi niat sang penguasa yang menggunakan nuklir. Nuklir bisa bermanfaat sebagai sumber energi (PLTN) dan ilmu kedokteran. Tapi, nuklir juga bisa berbahaya sebagai senjata perang."
***
      Karena menganut ideologi Juche (percaya dan bergantung pada kekuatan sendiri), Korea Utara sangat tertutup dengan dunia luar. Mitra utama perdagangan ialah China yang mengekspor emas, perak, dll dari Korea Utara. Sementara Korea Utara mengimport bahan makanan dari China. Dengan mengekspor senjata nuklir, yaitu ke Rusia dan beberapa negara di Afrika, Korea Utara memperoleh devisa. Korea Utara lebih mengutamakan anggaran militer dibandingkan kesejahteraan masyarakat sehingga masyarakat Korea Utara banyak yang menderita kelaparan. Kelaparan juga disebabkan oleh embargo ekonomi terhadap Korea Utara karena Korea Utara bersikeras mengembangkan program nuklir.
      Korea Utara menerapkan ekonomi terpusat di Pyongyang. Kelompok Haeksim, pendukung setia Kim Jong Un, tinggal di Pyongyang. Sementara kelompok Choktae (musuh) dan Dongyo (kelompok menengah yang masih diragukan kesetiaannya terhadap rezim Kim Jong Un) tidak diperkenankan tinggal di Pyongyang. Hal tersebut merupakan strategi rezim Kim Jong Un untuk mengamankan diri dengan meminimalisir adanya pengkhianatan. Tapi, hal itu merupakan kelemahan tata negara. Dengan perbedaan kasta, terciptalah kecemburuan sosial di masyarakat Korea Utara yang dapat memicu niat memberontak. Misalnya, kudeta dan mengepung Pyongyang. Walaupun demikian, hal tersebut sangat berisiko akibat strategi pengawasan terhadap masyarakat oleh rezim komunis Kim Jong Un. Dalam sistem komunisme, kekuatan bersenjata dan mata-mata diimplementasikan semaksimal mungkin untuk mencegah keruntuhan rezim. Jangankan hal sensitif seperti terlibat pemberontakan internal, menonton dan membagikan film K-Drama produksi Korea Selatan saja, warga Korea Utara terancam hukuman penjara 10 tahun dan 1 tahun kerja paksa.
      Korea Selatan terkenal dengan seninya. Branding strategy Korea Selatan sangat memukau. K-Drama, K-Pop, dan K-Idol merupakan taktik pemasaran pariwisata dan perkenalan budaya Korea Selatan yang mendatangkan devisa dengan adanya kunjungan turis asing, penjualan merchandise, baju, produk kuliner, dll. Bahkan, film "My ID is Gangnam Beauty" mempromosikan bedah plastik Korea Selatan. Siapa yang tak kenal dengan kepopuleran film K-Drama seperti Extraordinary Attorney Woo, Autumn in Love, Winter Sonata, Full House, atau pun Itaewon Class? Jika Korea Utara berhasil melakukan ekspansi terhadap Korea Selatan, kebebasan seni akan dikekang. Dan terutama, risiko keselamatan warga Korea Selatan yang terancam senjata nuklir Korea Utara.