Aku telah menemukan hipotesis baru mengenai cinta dan bisnis. Hubungan cinta dengan bisnis itu berbanding lurus, bukan terbalik. Semakin bisnis lancar, hubungan cinta semakin lancar. Dan sebaliknya. Aku pun sukses ditimpuk kamus oleh para profesor bisnis dari segala arah.
Ketika patah hati, kita harus menyibukkan diri agar otak tetap jernih. Semakin banyak patah hati, harus semakin banyak pencapaian yang diraih. Setelah 2 tahun bersusah payah, aku pun berhasil lulus kuliah dan memperoleh gelar Master.
Bagaimana jika aku patah hati lagi? Apakah aku akan bertekad memperoleh gelar doctorate, post-doctorate, atau bahkan profesor? Masa aku harus patah hati berulang kali agar terpacu untuk melanjutkan studi?
Hanya waktu yang bisa berbicara. Yang jelas, gelar profesor cinta bisa diraih oleh siapa pun dengan berpikiran positif. Cinta tak selalu harus dimiliki.
Dendam harus diubah menjadi pikiran positif agar tak menghasilkan jerawat, apalagi kerutan. Ketika dendam otak kita akan kreatif. Tubuh pun bergerak aktif. Aku harus melampaui diriku sendiri dan mengalahkan rasa dendam. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dengan mendendam.
Lagipula ada bahaya terselubung dari dendam. Jika cinta berubah menjadi dendam, bagaimana dengan sebaliknya? Jika terlampau memendam dendam, berisiko menjadi cinta. Memusingkan, bukan?
Sekarang aku dendam dengan Narak, sahabat lamaku. Aku benci kedua matanya yang selalu menatapku dengan intens seolah menginvasi relung hatiku. Tak bisakah hatiku dibiarkan sendiri?
Aduh! Apakah obat penawarnya? Jantungku serasa melompat keluar!
____
Cerpen ini diikutsertakan pada event Komunitas Penulis Berbalas (KPB) berhadiah pulsa dan novel kapak algojo dan perawan vestal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H