"Aku tak terlampau mengenal Mischa. Hubungan kami hanya teman biasa. Ia memintaku untuk menjadi pemandu wisatanya selama berlibur di Vietnam. Tak ada yang perlu kau khawatirkan," ucap Linh ramah.
"Apakah aku bisa meminta tolong?"
"Tentu saja. Aku senang menjadi teman barumu. Kupikir jahat sekali Mischa tak mau memberimu kepastian."
"Tolong tanyakan apakah ia masih mengingat namaku. Mengapa ia tak mau berkomunikasi denganku?"
"Okay."
Keesokan harinya, Linh pun melaporkan bahwa Mischa mengakui aku sebagai kekasihnya. Tapi ia tak mau menjawab mengapa ia tak mau berkomunikasi denganku. Oleh karena itu, aku berkesimpulan memang Mischa ingin mengakhiri hubungan cinta kami. Sudah tak ada asa.
Linh bukan penyebab cintaku kandas. Memang ekonomi makro dan situasi bisnis yang membuat Mischa mundur teratur. Walaupun pahit, aku harus mengakui rasa cinta Mischa tak sebesar diriku.
Tapi, Andy, sahabatku yang sebijak burung hantu, beropini sebaliknya, "Mischa tak sanggup menghadapi perpisahan denganmu. Ia sangat mencintaimu hingga tak ingin memberimu kenangan pahit. Dengan begini, kau hanya akan mengingat moment manis bersamanya."
Siapa yang berkata perempuan itu rumit? Mischa membuktikan pria juga serumit persamaan geometri. Apa sulitnya untuk berpisah dengan manis ala K-Drama? Aku berhak atas hal tersebut.
Selama sebulan aku meratapi hubungan cintaku yang kandas. Tapi hingga kapan aku akan berkubang dalam duka seperti ini. Walaupun air mata membanjiri wajahku, dunia tak akan hancur. Bumi akan tetap berotasi 24 jam. Mentari tetap terbit setiap hari. Aku jenuh mengasihani diri. Maka, kuputuskan untuk berubah. Tak akan kubiarkan ekonomi makro menghancurleburkan hubungan cintaku lagi. Aku pun bertekad melanjutkan studi mengenai Bisnis.
Ternyata aku jenius. Walaupun demikian, aku bisa merasakan hidungku memanjang semeter seperti Pinokio.