Disclaimer: Kisah ini nyata terjadi. Ditulisnya artikel ini tidak untuk menyinggung penderita schizophrenia, tapi untuk menggambarkan salah satu gejala schizophrenia. Banyak yang menyangka gejala merasa dirinya salah satu hewan ini merupakan kerasukan roh hewan atau jin sehingga penderita tidak memperoleh penanganan yang tepat, yaitu terapi oleh psikiater. Nama Bu Dira dan Rizal merupakan nama fiktif untuk melindungi privacy yang bersangkutan. Pada gangguan jiwa ini diperlukan keseimbangan penanganan, yaitu doa pada Allah Swt. dan usaha pengobatan medis.
Sepuluh tahun yang lalu Bu Maya memiliki sebuah rumah kontrakan yang letaknya tepat di depan rumah yang ia tempati bersama Sari, anak perempuannya.
Penyewa rumah merupakan sebuah keluarga kecil, yaitu Bu Dira, yang berusia separuh baya, dan Rizal, anak laki-laki tunggal Bu Dira yang berusia sekitar 20 tahun. Bu Dira sudah membayar sewa rumah ini untuk periode 3 bulan. Selama dua bulan situasi lancar hingga terjadi kejadian yang menggemparkan tetangga.
Menjelang tengah malam terdengar suara teriakan yang terus menerus. Sari yang masih setengah mengantuk, terpaksa mengikuti langkah kaki ibunya ke arah dapur.Â
Bu Maya memiliki hobby unik, yaitu merenovasi rumah berlantai dua ini agar terasa lebih nyaman dan efisien. Oleh karena itu, dapurnya terletak di serambi yang dikelilingi kaca-kaca besar sehingga mudah untuk melihat situasi dari atas. Kaca-kaca tersebut ditanam mati. Ventilasi di atas kaca-kaca tersebut, merupakan kisi-kisi kayu besar dengan kawat kasa sehingga udaranya selalu sejuk, tapi aman dari tikus dan ular.
Melalui jendela, Sari dan sang ibu pun melihat kerumunan di halaman rumah. Tepatnya, di bawah pohon mangga.
"JANGAN! JANGAN MEMANJAT!" Ujar Pak Ustaz Nanang.
"AWAS JATUH!" Seru Ferry, salah satu tetangga.
"RIZAL, TURUNLAH!" Jerit Bu Dira.
"PSSST! PSSST," desis Rizal. Suaranya persis desisan ular.
"ADUH, JANGAN MELOMPAT! YA ALLAH, RIZAL, SADARLAH, NAK!" Jerit Bu Dira. Wajahnya sepucat kertas memikirkan malapetaka yang akan terjadi.
Tak urung Bu Maya pun panik melihat Rizal yang sedang memanjat pohon mangga besar yang terletak di depan rumah yang ia tempati. Rupanya, Rizal bermaksud melompat dari pohon mangga tersebut ke serambi ini. Jika hal tersebut ia lakukan, tentu ia akan terluka sangat parah karena menghantam kaca dan berisiko jatuh dari ketinggian sekitar 5 meter.
Sari dan Bu Maya terpukau melihat Rizal yang meliuk-liuk seperti ular di atas cabang pohon mangga yang rendah. Suara desisan ular keluar dari bibirnya. Banyak tetangga yang berkumpul untuk menyaksikan kejanggalan tersebut. Bahkan, Ustaz Nanang terus-menerus melafalkan ayat-ayat suci. Semua orang berpendapat Rizal kesurupan jin raja ular.
"Kerasukan jin ular."
"Kasihan. Sudah sejam jin ularnya belum mau keluar juga dari tubuhnya."
"Jangan-jangan ada praktek pesugihan jin raja ular."
"Iya, mungkin lupa sesajen. Mana ini malam Jumat. Merinding."
"Ih, kau cium harum bunga, tidak? Apa ada kunti?"
Bisik-bisik tetangga semakin riuh bagaikan dengungan kumbang. Bagaimana tidak? Selain malam Jumat, mereka pun mencium semilir harum bunga. Padahal memang Bu Maya menanam bunga cempaka di sudut halaman rumah.
Ustaz Nanang pun menegur kerumunan tetangga. "Dibanding ngegosip, lebih baik turuti saya melafalkan doa. Sejak tadi hanya saya yang berdoa."
Para tetangga pun tertunduk jengah. Baru saja mereka hendak melantunkan doa bersama, tiba-tiba terdengar patahan ranting pohon. Perhatian mereka pun kembali pada gerak-gerik Rizal di atas pohon mangga.
"ADUH, IA MAU MELOMPAT."
"ASTAGFIRULLAH, RIZAL! JANGAN MELOMPAT!" Jerit Bu Dira frustasi. Wajahnya sudah sembab oleh air mata.
Satu lompatan besar. Diiringi pekikan penonton, Rizal sudah berhasil menggapai cabang pohon mangga yang tinggi dan hampir berhasil untuk menjangkau pinggiran bawah serambi lantai atas. Ketika usahanya hampir berhasil, tiba-tiba ia jatuh dan ditangkap oleh sekelompok tetangga pria yang siaga. Kemudian, Rizal dibawa masuk ke dalam rumah kontrakan.
Lampu rumah kontrakan yang kuning temaram menambah seramnya suasana. Tidak banyak perabotan rumah Bu Dira sehingga ruang keluarga terasa lengang. Tampak di sudut ruangan, Bu Dira sedang membujuk anaknya yang mengamuk.Â
Tiba-tiba Rizal menerjang dan menggulung Bu Dira, persis seperti ular piton menggulung mangsanya. Kemudian, Rizal menggigit leher Bu Dira. Dengan susah payah, tetangga berhasil melepaskan Bu Dira dari Rizal. Semua orang yang berada di sekitar Rizal, tidak luput dari pukulan dan tendangan sehingga ia berhasil kabur ke teras.
Sari sangat terpesona melihat Rizal melata. Rizal benar-benar menggunakan otot perutnya dan bergerak seperti ular. Punggungnya terlihat bergelombang, naik dan turun. Dengan cepat, Rizal berhasil menuruni 10 anak tangga teras. Dan hal tersebut dilakukannya dengan melata. Akhirnya, keriuhan ini berhasil dipadamkan. Rizal diikat dengan tali rafia agar tidak bisa melarikan diri.
"Bu, maafkan aku atas kelakuan anakku," kata Bu Dira pada Bu Maya. Ia tak bisa menahan isak tangisnya. "Malam ini juga aku akan membawa Rizal ke luar kota untuk bertemu bapaknya karena aku tak bisa mengatasi Rizal seorang diri."
Bu Maya langsung memeluk Bu Dira dan menghiburnya. Sementara itu, Rizal sudah berhenti meliuk-liukkan tubuhnya yang super lentur karena merasa lelah. Tapi, Rizal masih terus mendesis.
Walaupun masa sewa rumah masih tersisa 3 minggu, tapi Bu Dira tidak ingin tinggal lebih lama lagi di rumah kontrakan. Oleh karena kejadian Rizal kesurupan tersebut, selama 6 bulan rumah kontrakan Bu Maya tidak laku. Bahkan, Bu Maya diisukan melakukan pesugihan terhadap jin raja ular.
Selama bertahun-tahun tidak pernah ada yang menyadari bahwa Rizal itu bukan kesurupan, tapi ia menderita schizophrenia. Berdasarkan jurnal kesehatan, schizophrenia merupakan suatu penyakit jiwa yang membuat penderitanya kehilangan logika. Sederhananya, Rizal merasa dirinya seekor ular, bukan manusia.
Bu Maya dan Sari pun berharap di mana pun Rizal berada saat ini, ia memperoleh terapi pengobatan yang tepat. Bisikan schizophrenia bukanlah bisikan setan, tapi merupakan kelainan jiwa. Untuk para pejuang schizophrenia, tetaplah semangat karena kalian tetap bisa hidup normal jika diterapi dan memperoleh pengobatan rutin.
___
Dear Pembaca,
Apa  kalian pernah melihat kejadian serupa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H