"ADUH, JANGAN MELOMPAT! YA ALLAH, RIZAL, SADARLAH, NAK!" Jerit Bu Dira. Wajahnya sepucat kertas memikirkan malapetaka yang akan terjadi.
Tak urung Bu Maya pun panik melihat Rizal yang sedang memanjat pohon mangga besar yang terletak di depan rumah yang ia tempati. Rupanya, Rizal bermaksud melompat dari pohon mangga tersebut ke serambi ini. Jika hal tersebut ia lakukan, tentu ia akan terluka sangat parah karena menghantam kaca dan berisiko jatuh dari ketinggian sekitar 5 meter.
Sari dan Bu Maya terpukau melihat Rizal yang meliuk-liuk seperti ular di atas cabang pohon mangga yang rendah. Suara desisan ular keluar dari bibirnya. Banyak tetangga yang berkumpul untuk menyaksikan kejanggalan tersebut. Bahkan, Ustaz Nanang terus-menerus melafalkan ayat-ayat suci. Semua orang berpendapat Rizal kesurupan jin raja ular.
"Kerasukan jin ular."
"Kasihan. Sudah sejam jin ularnya belum mau keluar juga dari tubuhnya."
"Jangan-jangan ada praktek pesugihan jin raja ular."
"Iya, mungkin lupa sesajen. Mana ini malam Jumat. Merinding."
"Ih, kau cium harum bunga, tidak? Apa ada kunti?"
Bisik-bisik tetangga semakin riuh bagaikan dengungan kumbang. Bagaimana tidak? Selain malam Jumat, mereka pun mencium semilir harum bunga. Padahal memang Bu Maya menanam bunga cempaka di sudut halaman rumah.
Ustaz Nanang pun menegur kerumunan tetangga. "Dibanding ngegosip, lebih baik turuti saya melafalkan doa. Sejak tadi hanya saya yang berdoa."
Para tetangga pun tertunduk jengah. Baru saja mereka hendak melantunkan doa bersama, tiba-tiba terdengar patahan ranting pohon. Perhatian mereka pun kembali pada gerak-gerik Rizal di atas pohon mangga.