"Wah, terimakasih banyak, dok. Benar nih ini radio untuk kita? Ini kan masih bagus," seru Rudi antusias sembari memeluk radio itu. Tingkahnya persis bocah cilik yang diberikan mainan.
"Tak terpakai. Saya lebih sering mengerjakan jurnal dibandingkan mendengarkan radio. Barang ini akan lebih bermanfaat untuk kalian. Program KKN cukup melelahkan. Mendengarkan siaran radio merupakan healing yang cukup menyenangkan. Area desa ini begitu terpencil. Saat malam pun sangat sunyi hingga kita bisa mendengarkan nyanyian hutan. Tapi untuk orang muda dari kota, kesunyian bisa menyiksa. Ehm, Olif?"
Olif terperanjat karena dr Odi tiba-tiba menyebutkan namanya. Tadi pikirannya sempat berkelana karena ia melihat tak ada cincin pernikahan di jari manis sang dokter. "Ya, dok?" Tanpa ia sadari, suaranya melengking 7 oktaf karena gugup.
"Ini khusus untukmu. Salep herbal racikan saya sendiri. Kaki kananmu pasti masih sakit saat tersandung kemarin."
Kali ini Olif yang bertingkah seperti bocah cilik. Ia memeluk salep herbal itu seperti harta karun emas berlian. Tiba-tiba berbagai jenis burung bernyanyi di hati Olif. Semua jenis burung itu meneriakkan nada-nada cinta. Apakah ia boleh berharap? Apakah sang dokter juga menaruh hati pada dirinya?
***
Malam ini Olif sulit tidur. Padahal Amy dan Ida sudah tidur sejak jam 8 malam tadi. Olif pun menatap sepasang cicak yang sedang bercinta di langit-langit ruang tidurnya. Ia pun teringat kejadian unik dengan Profesor Burhan di kampusnya sebulan yang lalu. Apakah ia harus menuruti saran sang profesor?
"Olif, untuk apa kau masuk jurusan Manajemen ini? Bukankah kodrat perempuan itu menikah dan mengurus rumah tangga?" Ujar Profesor Burhan, sang dosen statistik yang sudah berusia 75 tahun.
Dengan gugup, Olif menjawab, "Untuk bekerja, Pak."
"Bah, jika kau menikah, tak perlu kau bekerja. Biar saja suamimu yang bekerja. Kau habiskan saja gajinya. Kau cukup menjadi ibu rumah tangga yang baik. Ilmu kuliah ini kau pakai untuk mendidik anak-anakmu."
"Tapi saya tak mau tergantung suami 100%."
Sang profesor melambaikan tangan dengan jengkel. "Jangan berdebat dengan orang yang sudah makan asam garam kehidupan! Sekarang apa impianmu?"
"Lulus kuliah."
"Yang lainnya?"