TOK TOK TOK.
"Siapa itu?" Tanya Ranti. Ia merasa sangat mengantuk hingga sepasang matanya terasa dilem. Sulit sekali untuk memfokuskan pandangan matanya.
"Ini aku, Kang Asep, suamimu," jawab Asep dari balik jendela kamar mereka. "Cepat bukakan pintu. Di luar rumah dingin sekali. Angin bertiup sangat kencang."
"Salah sendiri Akang kedinginan. Kerjanya kelayapan terus. Mengapa Akang tidak masuk sendiri melalui pintu depan? Akang pegang kunci dupoikat, kan?" Omel Ranti yang merasa terusik karena dibangunkan Asep tepat tengah malam. "Aku baru saja terlelap. Seharian anak perempuan kita, Pia, rewel terus karena gigi susunya baru tumbuh. Belum lagi Dika yang baru belajar berjalan. Aku lelah sekali."
"Jangan menggerutu. Aku lupa membawa kunci, Sayang. Tolong berikan kunci pintu depan saja melalui jendela kamar. Jadi, kau tak perlu repot membuka pintu rumah bagian depan."
"Baiklah, Kang. Tunggu sebentar," kata Ranti. Ia membuka pintu laci buffet dan mengeluarkan serenceng kunci. "Akhir-akhir ini Akang sering sekali pulang malam. Memangnya apa yang Akang kerjakan? Bukankah Akang belum mendapat pekerjaan baru? Apa Akang sibuk tebar pesona ke perempuan lain?"
"Kau tak mengerti perasaanku. Untuk apa aku merayu perempuan lain? Aku juga sedang berusaha mencari uang. Siapa yang ingin hidup melarat seperti ini? Aku juga ingin kaya raya dan memiliki rumah sendiri," ujar Asep sembari menghela napas.
"Aku malu pada kedua orangtuaku yang harus membiayai rumah tangga kita. Sudah berat beban mereka. Belum lagi omongan tetangga yang menanyakan apa Akang masih pengangguran. Mereka menebak sudah 3 tahun Akang menganggur. Aku bingung menjawab apa."
"Jangan kau pedulikan tetangga. Kau mengetahui sendiri seperti apa sulitnya mencari kerja dengan hanya berbekal ijazah SMU."
"Seharusnya aku tak Akang larang untuk bekerja di perusahaan tekstil. Hanya karena Akang cemburu pada Tio, rekan kerjaku, Akang bersikeras aku harus berhenti bekerja. Setidaknya aku bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga kita," sahut Ranti. Ia berjalan mendekati jendela kamar dan menyingkap horden putih. Tapi, ia tertegun sejenak. Bukan suaminya yang berada di luar jendela kamar, tapi makhluk mengerikan berbulu hitam tebal. Sepasang mata merah sebesar apel menatap nyalang.
"AAAAA..." Teriak Ranti. Ia menekan dadanya dengan tangan kanannya. Seolah dengan berbuat begitu, ia bisa menahan jutaaan tusukan jarum di jantungnya.
"Ranti, ada apa?" Tanya Asep.
Mendengar kegaduhan tersebut, Pak Amir dan Bu Arin, orangtua Ranti, yang tinggal di kamar sebelah, langsung merangsek masuk ke dalam kamar Ranti.
"Ada apa, Nak?" Tanya Bu Arin. Ia sangat panik ketika melihat Ranti yang terkapar di lantai. Ia langsung memeluk Ranti.
Tangan kanan Ranti menunjuk ke jendela. "A...ada se...setan. Aku melihat makhluk hitam besar di luar jendela kamar."
"Mengapa kau buka hordennya?" Tanya Pak Amir.
"Asep baru saja datang, Pak. Aku hendak memberikan kunci melalui jendela kamar," jelas Ranti. Napasnya tersengal-sengal.
TOK TOK TOK.
"Itu pasti Asep. Tolong bukakan pintu depan, Pak," pinta Bu Arin.
"Aneh sekali Asep itu. Jangan-jangan Ranti melihat setan karena kelakuan buruk Asep. Aku mendengar kabar ganjil dari Pak Hafid, kuncen pemakaman keluarga kita. Asep itu bersama teman-temannya sering melakukan pesugihan judi togel di pemakaman keluarga. Jangan-jangan tadi juga ia baru saja melakukan pesugihan," bisik Pak Amir.
"HUSH! Jangan fitnah," sergah Bu Arin. "Mana mungkin Asep melakukan perbuatan terlarang?"
"Kenyataan, Bu. Aku tidak mau anak kita menjadi tumbal pesugihan," tegas Pak Amir. Ia bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar untuk mempersilakan Asep masuk.
Asep berdiri mematung di teras rumah. Wajah Asep terlihat pucat dan aneh diterangi sinar bulan purnama. Ia pun segera menghampiri Ranti yang napasnya sesak.
"Nak, Ranti kena serangan jantung. Mari kita bawa dulu Ranti ke IGD," pinta Pak Amir.
Asep mengangguk seperti robot. Ia membopong Ranti dan memasukkannya ke dalam mobil tuanya. Orangtua Ranti pun turut ikut ke rumah sakit.
Semalaman di IGD, Ranti terus saja mengigau dengan mata terpejam, "Aku takut...aku takut sekali. Setan hitam. Ada setan yang mengejarku. Aku lelah berlari."
    "Dok, bagaimana ini?" Tanya Bu Arin pada dr. Dian, dokter jaga saat itu. "Mengapa keadaan Ranti tak kunjung membaik?"
  "Maaf, Bu. Kami sudah berusaha yang terbaik. Sekarang tergantung daya tahan tubuh dan niat hidup sang pasien. Tidak ada yang tak mungkin. Kita doakan saja semoga ada keajaiban sehingga pasien sembuh seperti sediakala," jawab dr. Dian.
   Mendengar jawaban dr. Dian, Bu Arin tak kuasa menahan air matanya. Nasib Ranti, anak kesayangannya, berada di ujung tanduk. Pak Amir hanya duduk termangu sembari mengacak-acak rambutnya. Pak Amir tak percaya dalam sekejap keadaan Ranti memburuk. Padahal sebelumnya Ranti segar bugar. Itu semua karena Asep, menantu tak tahu diuntung itu. Jika tak memandang Ranti yang sangat mencintai Asep, Pak Amir pasti sudah melabrak Asep.
Bu Arin membelai dahi Ranti. Kemudian, ia membisikkan kalimat Syahadat di telinga kanan Ranti. Untungnya, Ranti diberi kesempatan untuk sadar sejenak dan mengulangi kalimat Syahadat tersebut. Akhirnya, menjelang subuh ia memejamkan mata dan tersenyum damai diiringi pecah tangis kedua orangtuanya. Sedangkan Asep hanya berdiam mematung di sisi Ranti. Wajah Asep sedingin dan sedatar patung-patung berhala. Ia hanya berpikir Ranti yang mendingin, tetap cantik seperti lukisan.
***
  Perasaan Asep telah mati. Ia tak peduli jika pesugihan yang ia lakukan memakan tumbal nyawa istrinya sendiri. Yang terpenting baginya ialah uang. Uang. Dan uang memang datang dengan mudah bagi Asep. Tiba-tiba ia diterima kerja sebagai staff pemasaran di real estate Nirvana. Kemudian, ia berhasil mempersunting Ivo, gadis cantik yang berusia 20 tahun lebih muda dari dirinya. Mertuanya pun cukup berada. Ia berhasil memiliki rumah dan mobil. Belum lengkap lagi kebahagiaannya, ia dikaruniai sepasang anak kembar yang imut.
     Pia dan Dika, kedua anak dari Ranti, tinggal tidak bersama dirinya, tapi dengan mantan mertuanya, yaitu Pak Amir dan Bu Arin. Walaupun Asep bersikeras kedua anaknya itu harus tinggal bersama dengan dirinya dan istri barunya, tapi Pia dan Dika tetap lebih memilih tinggal bersama Pak Amir dan Bu Arin yang sangat menyayangi dan memanjakan mereka. Asep tak pernah mengerti harta belum tentu bisa membeli kebahagiaan dan kenyamanan hati.
***
"Aduh, sakit! Dadaku sakit sekali!" Keluh Pia.
 Asep termenung di ruang rawat RS Cempaka. Tidak hanya kejelitaannya, Pia juga menderita kelainan jantung persis seperti Ranti.
 Tiba-tiba tampak bayangan hitam besar di samping dipan rawat yang direbahi Pia. Asep mengucek-ngucek pelupuk kedua matanya. Tapi, bayangan hitam itu tidak hilang juga.
"Jangan! Jangan ganggu Pia!" Bisik Asep. Ia merasa lututnya langsung lemas tak bertenaga.
    Â
_____
Dear pembaca,
Apa pengalamanmu yang menakutkan?
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H