Nita memelukku, "Ya, sudah. Jangan berpikir hal sedih. Kapan kau akan mengenalkan tunanganmu yang super hebat?"
"Nanti. Tapi, kau harus berjanji untuk tidak merebutnya. Hatimu kan lemah jika menghadapi pria ganteng."
Nita langsung menghantam kepala Vina dengan bantal. Untuk sesaat, mereka berdua lupa bahwa mereka bukan anak kecil lagi yang senang berperang bantal guling.
***
"Aku harus pergi. Tama menungguku di bawah pohon ketapang."
"Jangan, Vin. Hujan deras sekali. Sedangkan tubuhmu sedang demam tinggi. Kau telepon saja Tama untuk menjengukmu."
"Handphone Tama rusak. Selama kami berhubungan, aku tak pernah menghubunginya melalui handphone."
Nita menelan kekuatirannya. Hari demi hari keadaan Vina semakin memburuk. Vina terus-menerus memanggil nama Tama. Tapi, Tama seperti hilang ditelan bumi. Tama yang misterius. Sebenarnya, Nita sudah menginterogasi Pak Dira dan penghuni kost lainnya, tapi tidak ada yang mengenal Tama. Tidak ada seorang pun tetangga yang mengenal Tama. Apakah Tama hanya halusinasi Vina belaka?
***
Selama ini Nita menganggap sepele keluhan Vina mengenai lalat buah. Tapi, hari ini ia harus mengakui bahwa lalat buah ini benar-benar menjengkelkan. Ketika Nita membuka pintu kamar mandi Vina, ia disambut jutaan lalat buah yang berebutan terbang keluar. Belum pernah Nita melihat koloni lalat buah sebanyak itu. Ia beropini saluran pembuangan kamar mandi Vina benar-benar buruk sehingga Nita meminta tolong Pak Dira untuk memeriksa saluran pembuangan air.
Vina yang sedang berbaring lemah, tiba-tiba bangkit dengan mata nyalang. Entah dari mana asal tenaganya. Ia berlari kencang  mengikuti pasukan lalat buah menuju halaman rumah Tama. Nita dan Pak Dira mengejarnya.