HUHUHUHU...
Hewan apa yang melolong-lolong seperti itu? Suaranya menyayat telinga. Aku terbangun dengan kepala yang ringan. Ah, sudah begitu lama aku tak merasa sesegar ini. Rasanya aku kembali lahir. Apakah Tuhan mengutus malaikatnya untuk menghilangkan tumor otak yang menyiksaku setahun ini? Tapi, apa yang menghalangi pandanganku ini? Pandangan mataku berbutir-butir. HAAACIH! Dan juga apa yang menyumpal hidungku ini? Belum lagi, tubuhku seperti terbelenggu. Siapa yang tega membungkus tubuhku dengan kain kumal berlapis ini?
Hey, apakah sahabat-sahabatku melakukan prank karena sebentar lagi aku akan merayakan sweet seventeen? Aku tak akan terpedaya akal bulus mereka. Pertama-tama, aku harus keluar dari tempat sesak ini.
Uh, tinggal satu liukan lagi. Dan aku bebas. Oksigen berlimpah, aku datang.
"EMAK, Â ADA POCONG TERBANG," teriak Pak RT.
"KEREN BANGET. OM RANGGA JADI POCI," jerit keponakan-keponakanku. Binar mata mereka penuh kekaguman. "OM POCI, AKU MAU IKUT TERBANG."
"RUDI, INI PASTI GARA-GARA Â KAMU. TALI POCONGNYA BELUM DIBUKA," hardik Pak Brata, bapakku. Kumis sangarnya yang lebat bergetar-getar seperti garputala.
"Hehehe, maafkan aku, Pak. Aku tidak tahu tali pocongnya harus dibuka," jawab Rudi, sahabatku, sembari cengengesan. "Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
"Cepat cari Pak Ustaz supaya mendoakan anak kesayanganku. Dan juga telepon dokter Fadli agar segera datang."
"Om, Pak Ustaz pingsan," lapor Nuri, kekasihku.