"Imutnya," kataku. Boneka kucing yang dipajang di etalase depan toko barang antik itu menarik perhatianku. Wajah kucing itu sangat bulat dengan mata segaris. Warnanya hitam putih seperti sapi perah Holstein. Ekspresi wajahnya yang sombong, sangat menggemaskan.
Aku mengertakkan gigi. Boneka itu harus jadi milikku. Tapi, begitu aku membaca harganya yang sangat mahal, lututku langsung lunglai. Satu juta Rupiah untuk 1 boneka kucing? Mataku nanar menatap boneka kucing elit tersebut.
"Nak, kau sangat menyukainya, ya?" Tanya seorang kakek bercelemek warna biru langit. Matanya yang sipit berbinar ramah. "Mari masuk dulu agar kau bisa melihatnya langsung."
"Tidak, Pak. Aku hanya window shopping. Uang sakuku tidak cukup untuk membelinya," tolakku.
"Anak muda tidak boleh cepat putus asa. Aku akan menawarkan cara lain untuk mendapatkan Chibichan," seru kakek itu sembari memberikan isyarat padaku untuk mengikutinya masuk ke dalam toko.
"Wah, toko barang antik Bapak bagus sekali. Biasanya toko barang antik terlihat kusam," seruku antusias.
"Benarkah?" tegas sang kakek dengan bangga. "Oh ya, kau jangan memanggilku Bapak. Orang-orang biasa memanggilku Kakek Tano. Siapa namamu gadis kecil? Berapa umurmu?"
"Namaku Airin. Umurku 15 tahun."
"Nah, Airin. Bagaimana jika kau membeli Chibichan dengan tenagamu? Kau masih bersekolah, kan? Kapan waktu luangmu untuk membantuku membersihkan barang antik di toko ini? Aku tak akan memintamu untuk mengerjakan pekerjaan berat. Kau hanya membersihkan debu saja dan menata barang antik."
"Aku setuju, Kek. Aku luang setiap hari Jumat dan Sabtu jam 13.00-16.00. Jam 17.00 aku sudah harus berada di rumah."