Sean menghela napas, "Aku tanya sekali lagi. Inka, apakah kau pernah mencintaiku. Aku tak akan memarahimu jika kau jujur. Aku tahu kau akan segera menikah dengan teman sekolahku, Mika."
Inka menangis dengan keras, "Maafkan aku. Aku sudah berusaha mencintaimu. Kurasa aku memang mencintaimu. Tapi, rasanya sulit untuk mengikuti cara berpikirmu yang kaku. Aku harus menyesuaikan diri dengan keluarga besarmu yang memandang rendah diriku. Sedangkan penyesuaian diri dengan Mika begitu mudah."
"Aku mengerti. Ia tampan, kaya, dan baik hati. Kau tak perlu berkorban perasaan untuknya," ujar Sean dengan nada menyindir.
"Jangan sinis. Kau anak tunggal dari keluarga yang kaya raya. Mana kau mengerti kesulitan hidup yang kutanggung," seru Inka penuh kesal. "Sekarang juga apa yang kau harapkan? Mengapa kau ingin bertemu denganku?"
Sean termenung, "Rupanya hanya aku yang berpikir kita saling mencintai. Setidaknya, aku pernah berpikir begitu. Terima kasih banyak, Inka. Pikiranku sekarang sudah terbuka."
"Terserahlah," ujar Inka dengan kesal. "Dari kau hidup hingga kau mati, aku tak pernah mengerti apa sebenarnya yang kau pikirkan dan kau harap."
"Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kali?"
Untuk sesaat Inka ragu. Tapi, kemudian ia menganggukkan kepala sembari tersenyum. "Mengapa tidak? Dulu kita adalah sahabat dan sekarang pun masih."
Inka dan Sean yang berada dalam tubuhku pun berpelukan. Awas saja jika Sean menggunakan bibirku untukku berciuman dengan Inka. Baru saja aku berpikir begitu, Sean melakukannya. Sean mengecup kening Inka dengan halus dan mengucapkan perpisahan melodramatis dengan tatapan sendu. Whoooa, aku tak menyangka mataku yang dirasuki Sean bisa bersinar sendu ala KDrama. Sean ini benar-benar hantu gombal.
***
"Ibu, pikiranku sudah tenang. Aku siap melakukan ritual penyempurnaan arwah agar arwahku tak lagi menghantui Ibu. Ivo juga sudah kupersilakan untuk menikah lagi. Ibu benar sekali. Ivo membantu urusanku yang rumit dengan Inka. Ia benar-benar gadis yang baik."