Vera tidak menjawab. Ia hanya menyentuhkan jari telunjuknya ke bibir Alvin. Kemudian, ia lenyap begitu saja.
Alvin marah bukan kepalang. Vera berani bermain api dengan dirinya.
***
"Hallo, Alvin, ini Nisa. Aku ingin membicarakan tentang nasib adikku yang dirawat di rumah sakit."
"Memangnya Lina sakit apa?"
"Kau tak pernah membaca surat kabar? Lina jatuh dari apartemennya minggu lalu. Ia sedang kritis di IGD," cecar Nisa. "Padahal kau ingin menikahi Lina. Dan Lina sudah berkorban banyak untukmu. Tapi, kau tak peduli pada keselamatannya."
"Bagaimana ia bisa jatuh?" Tanya Alvin. Ia merasa resah karena peristiwa yang menimpa Lina terjadi pada hari yang sama ketika Vera bunuh diri. "Jam berapa ia jatuh?"
"Lina berada di tepi jendela apartemennya. Ia memandang kosong ke arah luar jendela. Kemudian, ia mencondongkan dirinya dan terjatuh begitu saja. Kejadiaannya jam 9 pagi."
Alvin merasa jantungnya berhenti berdetak saat mendengar detil peristiwa tragis yang menimpa Lina. Jam yang sama. Hari yang sama. Jatuh dari apartemen. Jangan-jangan Vera mengutuk Lina dengan sihir hitamnya? Alvin tahu kecemburuan perempuan sangat mengerikan. Tapi, ia sulit mencintai Vera yang manja dan kaya raya. Sedangkan Lina yang sederhana begitu manis dan penurut. Hanya Vera yang gegabah menuduh Lina berpura-pura dalam sikap manisnya. Jika saja orangtua Alvin dan Vera tidak mengikat pertunangan mereka dan perjanjian harta, Alvin pasti sudah membuang Vera dari dulu.
***
"Vera, aku ingin bicara."