Keringat dingin bercucuran di pelipis Alvin. Tidak ada darah. Apalagi jenazah. Yang ada hanya pecahan lilin dan bongkahan tubuh patung boneka lilin hitam. Seperti tersihir, Alvin memegang kepala boneka lilin hitam yang menyerupai wajah Vera.
Pak Ali memegang pundak kanan Alvin dengan gaya kebapak-bapakkan. "Nak, masih belum terlambat untuk berobat jiwa. Aku sering mendengar tentang boneka pendamping hidup. Tapi, itu hanya benda mati. Jangan kau anggap boneka lilin itu sebagai tunanganmu." Ia menghela napas, "Kau ini tampan. Jika aku setampan dirimu, aku pasti sudah memiliki 10 kekasih."
Alvin menepis tangan Pak Ali dengan jengkel, "Saya masih waras, Pak."
Penyidik Eka dan Pak Ali saling berpandangan dengan tatapan penuh maksud. Kasihan, masih muda sudah mengalami gangguan jiwa. Mana ada orang yang mengalami gangguan jiwa akan mengakui dirinya terganggu jiwanya.
***
"ALVIIIIN....ALVIIIIN..."
Alvin terbangun karena bisikan suara Vera. Ia menutup  kedua telinganya dengan bantal. Tapi, suara bisikan yang meresahkan itu terus mengejarnya.
"ALVIIIIN....ALVIIIIN..."
Alvin membuka mata dan hanya kegelapan kamar yang menyambutnya. Tangan Alvin menggapai-gapai kenop lampu duduk yang berada di atas buffet yang berada di samping tempat tidur. Dalam penerangan cahaya temaram, bayangan furniture seperti rentangan tangan-tangan iblis yang siap mencengkeram jiwa.
Hati Alvin mencelos. Ia merasa sedingin es. Di sisi tempat tidurnya berdirilah sosok yang menjadi mimpi buruknya beberapa hari ini.
Alvin mengkerutkan tubuhnya sebisa mungkin. Ia merasa dirinya begitu kecil, sedangkan sosok berjubah hitam itu semakin membesar.