Dengan kesal Edwin menusuk krim berbentuk beruang yang kekanak-kanakkan itu. Ia puas melihat krim itu tenggelam dalam espresso. Kemudian, ia menyeruput cappuchino tersebut dengan puas.Â
Kopinya begitu harum dan pekat. Krimnya juga kental karena terbuat dari susu sapi segar. Tapi, bukan itu yang membuat ia mau duduk bersantai di kedai kopi kecil yang baru buka tersebut. Ia terpesona pada gadis cantik yang bekerja sebagai barista di kedai kopi vintage ini.
Gadis itu bermata besar dengan alis bersayap. Wajahnya yang berbentuk hati begitu ekspresif ketika menghias kopi dengan krim segar. Senyumnya yang ramah membuat jantung Edwin berdebar.Â
Padahal Edwin bukan tipe pria yang mudah tersentuh ataupun sentimental. Ia merasakan obsesi yang begitu luar biasa untuk mengurung gadis tersebut di kediamannya dan mempersembahkan segalanya untuk pujaan hatinya tersebut.
"Lana!" Kata seorang pemuda kurus bersweater biru dengan suara lantang.
"Gerald, sudah kubilang jangan datang saat aku sedang bekerja," sahut Lana. Si gadis barista tersebut langsung menghampiri Gerald dengan tergesa-gesa, tanpa mempedulikan tatapan pengunjung kedai kopi yang memperhatikan tingkah laku mereka berdua.
Masa muda masa yang penuh dengan cinta menggebu. Edwin kembali memejamkan mata dan menghirup aroma kopinya. Kemudian, ia memusatkan pikirannya. Waktu seakan berhenti mengalir.Â
Udara terasa berat mencengkeram dada Edwin. Selalu seperti itu. Perlahan Edwin membuka matanya. Tampak bayangan-bayangan hitam yang aneh, terbang mengelilingi Lana dan Gerald dengan penuh ancaman.Â
Mata mereka merah dengan tangan-tangan kurus berkuku runcing yang menyambar-nyambar. Seolah-olah tahu dirinya sedang diintai, mereka serentak berpaling dan terbang mendekati Edwin.Â
Monster-monster yang hanya bermata satu tersebut menyeringai dengan memamerkan gigi taringnya. Merespon hal tersebut, Edwin hanya menjentikkan jarinya. Dalam sekejap mereka menjerit kesakitan dan lenyap menjadi debu perak yang indah.