Mohon tunggu...
Sis Maula
Sis Maula Mohon Tunggu... -

Pemeran Wayang Kehidupan di Panggung Jagad Semesta Raya dengan Lakon "Cintakan aku pada-Mu" Skenario Sang Maha Qudroh. Tinggal Di Kendal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebijakan Full Day School, "Blessing in Disguise" untuk Madrasah Diniyah

14 Juni 2017   01:13 Diperbarui: 14 Juni 2017   08:36 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Kompas.com

Menarik menyimak berbagai respon publik, tenaga pendidik, politisi, lembaga sosial, juga lembaga pendidikan non formal yang – konon- adalah embrio pendidikan nasional di Indonesia. Terutama yang saya sebut terakhir, lembaga pendidikan non formal – sebut saja Madrasah Diniyah- , yang disinyalir lambat laun tapi pasti akan hilang akibat penerapan Full Day School (FDS) di SD/MI dan SMP/MTs dan lembaga sederajat.

Saya tidak sependapat dengan respon seorang politisi yang mengatakan bahwa pelaksanaan FDS akan berbenturan dengan eksistensi Madrasah sebagai lembaga pendidikan non formal. Sebab, saya meyakini bahwa penyelenggara pendidikan jenis ini lebih mengedepankan bagaimana transformasi ilmu agama –Islam- kepada peserta didik (santri), dari pada mempertahankan eksistensi lembaga itu sendiri.

Justru saya berfikir sebaliknya, FDS yang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy disebut sebagai Program Penguatan Pendidikan Karakter (P3K) akan menjadi Blessing in Disguise (berkah tersembunyi) bagi pendidikan Non Formal seperti Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren.

Kenapa?

PAMEO LA YAMUTU WALA YAHYA

Kontinuitas pendidikan non formal hingga hari ini sedang dipertaruhkan. Santri sebagai peserta didik sudah enggan masuk di lembaga model ini karena beberapa faktor. Pertama; berbagai fasilitas alat transportasi dari orang tua justru membuat mereka lebih banyak di luar rumah sepulang sekolah di pagi hari. Atau bagi mereka yang enggan di luar, ia lebih menikmati tinggal di rumah bersama berbagai sarana teknologi dan komunikasi yang ditawarkan dengan harga yang terjangkau. Ini sudah menggejala di pelosok-pelosok kampung bahkan di daerah 3T.

Keadaan ini semakin keruh ketika primary socialization yang sebanyak-banyaknya harus diperankan orang tua di lingkungan keluarga sudah tidak menjamin lagi karena kesibukan dalam profesi pekerjaannya masing-masing. Peserta didik menjadi tidak terkontrol oleh keadaan ini apalagi untuk masuk pendidikan diniyah di sore hari.

Faktor ini yang paling banyak disoroti oleh penyelenggara pendidikan non formal terutama madrasah diniyah. Transformasi ilmu keagamaan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam sulit diukur angka keberhasilannya.

Kedua; lembaga non formal, walaupun jumlahnya lebih banyak dibanding lembaga formal di negeri ini, belum mendapat perhatian seperti pendidikan formal yang berakibat sarana prasarana begitu minim. Keadaan ini acap kali kita jumpai di daerah-daerah sehingga peserta didik semakin tidak tertarik. Ditambah lagi honorarium pengajar (ustadz) masih mengandalkan bantuan suka rela.

Dari dua alasan di atas tampaknya belum mampu diurai dari sisi mana bisa ditarik benang merahnya. Minimnya peran orang tua terhadap anak, dan perhatian pemerintah terhadap pendikan non formal masih belum selesai. Ini menjadi dilema tersendiri bagi lembaga-lembaga/organisasi sosial dan masyarakat sebagai penyelenggara. Hingga muncul pameo la yamutu wala yahya.Itu sebabnya, penting bagi lembaga/organisasi sosial dan masyarat bersama instansi terkait untuk terus mencari upaya solutif disesuaikan perkembangan pendidikan nasional yang terus berkembang.

FULL DAY SCHOOL, BLESSING IN DISGUISE?

Pertanyaanya, apakah kebijakan Full Day School dengan menambahkan jam pelajaran menjadi 8 JP benar-benar menjadi bumerang bagi pendidikan non formal? Atau bahkan terjadi sebaliknya, FDS menjadi Bessing in Disguise (berkah tersembunyi) yang justru menggairahkan pendidikan non formal seperti Madrasah Diniyah dan pondok pesantren.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan memberi angin segar bagi penyelenggara pendidikan non formal. Oleh Peraturan ini, madrasah diniyah. Pondok pesantren, atau penyelenggara pendidikan non formal lainya akan diuntungkan dengan FDS ini.

Dalam pasal 25 ayat 5 peratutan ini disebutkan, “Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.” Dari bunyi pasal ini pengelola pendidikan madrasah diniyah dituntut untuk pandai mengambil sikap cerdas agar FDS benar-benar menjadi peluang dan berkah tersembunyi.

Lembaga/organisasi sosial dan masyarakat sebagai penyelenggara terus menggalakkan kajian intensif yang hasilnya akan menjadi rekomendasi positif bagi pemerintah. Perkawinan FDS dengan Peraturan pemerintah yang saya sebut di atas menjadi titik pijak terhadap keberlangsungan lembaga pendidikan non formal.

Jika ini bisa sinkron antara pendidikan formal dan pendidikan non formal, tidak ada alasan bagi peserta didik tidak masuk pendidikan non formal karena dilaksanakan ‘satu atap’ dengan pendidikan formal. Peserta didik akan lebih menyerap berbagai banyak ilmu agama karena alokasi waktu lebih banyak dan suasana pendidikan kondusif. Orang tua juga lebih dimudahkan dalam pengendalian bagi anak-anaknya. Dan terpenting, Lembaga pendidikan formal, negeri maupun swasta harus siap berubah untuk menyambut perkawinan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun