Menarik menyimak berbagai respon publik, tenaga pendidik, politisi, lembaga sosial, juga lembaga pendidikan non formal yang – konon- adalah embrio pendidikan nasional di Indonesia. Terutama yang saya sebut terakhir, lembaga pendidikan non formal – sebut saja Madrasah Diniyah- , yang disinyalir lambat laun tapi pasti akan hilang akibat penerapan Full Day School (FDS) di SD/MI dan SMP/MTs dan lembaga sederajat.
Saya tidak sependapat dengan respon seorang politisi yang mengatakan bahwa pelaksanaan FDS akan berbenturan dengan eksistensi Madrasah sebagai lembaga pendidikan non formal. Sebab, saya meyakini bahwa penyelenggara pendidikan jenis ini lebih mengedepankan bagaimana transformasi ilmu agama –Islam- kepada peserta didik (santri), dari pada mempertahankan eksistensi lembaga itu sendiri.
Justru saya berfikir sebaliknya, FDS yang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy disebut sebagai Program Penguatan Pendidikan Karakter (P3K) akan menjadi Blessing in Disguise (berkah tersembunyi) bagi pendidikan Non Formal seperti Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren.
Kenapa?
PAMEO LA YAMUTU WALA YAHYA
Kontinuitas pendidikan non formal hingga hari ini sedang dipertaruhkan. Santri sebagai peserta didik sudah enggan masuk di lembaga model ini karena beberapa faktor. Pertama; berbagai fasilitas alat transportasi dari orang tua justru membuat mereka lebih banyak di luar rumah sepulang sekolah di pagi hari. Atau bagi mereka yang enggan di luar, ia lebih menikmati tinggal di rumah bersama berbagai sarana teknologi dan komunikasi yang ditawarkan dengan harga yang terjangkau. Ini sudah menggejala di pelosok-pelosok kampung bahkan di daerah 3T.
Keadaan ini semakin keruh ketika primary socialization yang sebanyak-banyaknya harus diperankan orang tua di lingkungan keluarga sudah tidak menjamin lagi karena kesibukan dalam profesi pekerjaannya masing-masing. Peserta didik menjadi tidak terkontrol oleh keadaan ini apalagi untuk masuk pendidikan diniyah di sore hari.
Faktor ini yang paling banyak disoroti oleh penyelenggara pendidikan non formal terutama madrasah diniyah. Transformasi ilmu keagamaan dalam rangka mendalami ajaran Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam sulit diukur angka keberhasilannya.
Kedua; lembaga non formal, walaupun jumlahnya lebih banyak dibanding lembaga formal di negeri ini, belum mendapat perhatian seperti pendidikan formal yang berakibat sarana prasarana begitu minim. Keadaan ini acap kali kita jumpai di daerah-daerah sehingga peserta didik semakin tidak tertarik. Ditambah lagi honorarium pengajar (ustadz) masih mengandalkan bantuan suka rela.
Dari dua alasan di atas tampaknya belum mampu diurai dari sisi mana bisa ditarik benang merahnya. Minimnya peran orang tua terhadap anak, dan perhatian pemerintah terhadap pendikan non formal masih belum selesai. Ini menjadi dilema tersendiri bagi lembaga-lembaga/organisasi sosial dan masyarakat sebagai penyelenggara. Hingga muncul pameo la yamutu wala yahya.Itu sebabnya, penting bagi lembaga/organisasi sosial dan masyarat bersama instansi terkait untuk terus mencari upaya solutif disesuaikan perkembangan pendidikan nasional yang terus berkembang.
FULL DAY SCHOOL, BLESSING IN DISGUISE?