Mohon tunggu...
Sirojudin Mursan
Sirojudin Mursan Mohon Tunggu... profesional -

ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pernahkah Kita Berpikir Soal Jajanan Anak Kita di Sekolah?

7 November 2016   14:36 Diperbarui: 7 November 2016   21:00 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jajanan anak sekolah dasar. Tempo.co

Setiap kali ada temuan soal jajanan anak di sekolah, kita baru terperanjat. Kaget. Ada saluran televisi yang melakukan investigasi khusus tentang makanan ringan (jajanan) anak kita di sekolah. 

Di sana banyak ditemukan penggunaan zat-zat berbahaya, baik penggunaan pewarna makanan dan proses pemasakan yang tidak steril dan berbahaya. Juga saat penyajian, diletakkan di tempat terbuka. Akses matahari langsung, lingkungan berdebu dan sebagainya. 

Kagetnya kita soal makanan itu umumnya hanya sesekali, lalu kita membicarakan itu. Tidak jarang jadi viral di media sosial dan obrolan di sekitar lingkungan kita tinggal. Seiring berlalunya waktu kitapun lupa. Tertumpuk berita-berita berikutnya. 

Dalam keseharian, berita satu dengan berita lainnya sering ‘bersundulan’. Saling mendorong, apatah lagi dalam konteks saat akses informasi sudah bergeser dari media mainstream (TV, koran dan majalah) bergeser ke media online dan sosial media. 

Akses informasi beragam itu memungkinkan kita kelebihan informasi yang saling ‘nyundul’ itu. Sehingga fokus penyelesaian masalah tumpang tindih juga. Masalah yang satu belum selesai sudah datang masalah yang lain, begitu seterusnya. 

Termasuk soal ‘jajanan’ anak di sekolah ini. Kita melihatnya dari beberapa perspektif. Dari sisi orang tua murid, ini jadi keprihatinan, tepatnya kekhawatiran. Karena anak-anak di masa pertumbuhan itu amat riskan terhadap konsumsi asupan yang berbahaya. Dalam jangka panjang asupan berbahaya itu menimbulkan banyak penyakit. Jadi pemicu berbagai penyakit berbahaya. 

Bisa saja solusinya dengan tidak membolehkan anak jajan di sekolah, tapi anak-anak di usia itu sulit memahami cara seperti itu. Yang mereka tahu, anak-anak lain jajan mereka harus jajan. Hal ini tentu menghawatirkan banyak orang tua murid. Mereka mengeluhkan pada pihak sekolah tapi biasanya jawaban pihak sekolah datar-datar saja, akan ditindaklanjuti. Kenyataan nya keluhan itu dianggap biasa saja. Lalu semua lupa dengan berjalannya waktu.

Bagi Guru, mereka juga punya kekhawatiran yang sama. Tapi aktivitas kewajiban teknis pengajaran akhirnya melupakan hal-hal seperti itu. 

Orang tua murid, guru, umumnya memandang itu masalah serius. Tapi tidak tidak untuk pedagang, mereka yang jualan. Terutama di sekolah-sekolah dasar negeri, yang pengawasannya tidak seketat pengawasan sekolah swasta. 

Umumnya sekolah swasta menerapkan kebijakan sekolah yang tertutup dengan satu pintu utama. Di mana pada jam-jam belajar tidak diperkenankan siswa untuk keluar tembok. Semua kegiatan di lakukan di dalam tembok, termasuk jajanan sekolah dan makanan lainnya. Pengawasannya tentu lebih mudah. 

Buat mereka (para pedagang) yang terbayang hanya bagaimana meraih keuntungan besar dengan modal kecil. Penyiasatan itu tentu bermasalah. Bagaimana mungkin bisa menjual dagangan murah menggunakan bahan standar, secara hitungan dagang sulit bisa untung. Lalu mereka ‘terpaksa’ menggunakan bahan-bahan berbahaya, (meski ada yang bilang pada batas toleransi, seperti yang direkomendasi kan BP POM depkes). Masalahnya siapa yang mengawasi penggunaannya. Batas-batas toleransi nya.

Umumnya pedagang kecil di kita tanpa pengawasan. Jadi bila pedagang itu tak punya etika, dan tak punya kesadaran kemanusiaan, bahwa apa yang mereka racik dan dagangkan berbahaya itupun mereka anggap biasa aja. No feel guilty (tanpa rasa berdosa). Padahal apa yang mereka kerjakan sangat berbahaya dan merusak masa depan kesehatan anak-anak generasi bangsa. 

Tanggung jawab ini tak bisa kita bebankan hanya pada pemerintah. Semua unsur yang ada di sekolah, guru, orang tua murid, pemerintah setempat dan semua yang punya konsen pada kesehatan harus ambil peran di sana.

Apapun yang bisa dilakukan. Misalnya orang tua di rumah harus sering mengingatkan anak soal bahaya jajanan tanpa standar kesehatan dan pengawasan. Terutama bahaya bila sering dikonsumsi dan dimakan secara berulang dan lama. Karena zat-zat berbahaya itu jadi pemecu bila mengendap dalam jangka waktu yang lama. 

Saat di sekolah, guru dapat peran umpan juga melakukan  hal yang sama. Bila perlu selain melarang jajan di luar sekolah juga diikuti sangsi bagi mereka yang melanggar. Sangsi ini bagian dari konsekuensi ‘lebih baik menghukum dari pada mereka mengkonsumsi hal yang berbahaya, dengan jangka panjang yang lebih berbahaya’. 

Selain itu, otoritas sekolah juga bisa melarang pedagang berdagang di luar sekolah. Solusinya, sekolah membuatkan kantin di dalam tembok sekolah, dengan pengawasan. 

Otoritas sekolah berkwajiban mengawasi pedagang itu sebagai tanggung jawab soal asupan. Agar anak didik tidak terkontaminasi zat zat berbahaya. Sekolah juga harus banyak bersosialisasi ke pedagang soal bahaya penggunaan zat berbahaya. Juga soal tanggung jawab kehidupan, untuk tetap memelihara keberlansungan hidup sehat anak didik, kepada para pedagang.

Pedagang sendiri juga harus punya kesadaran itu. Dan tidak menggunakan jual belinya hanya untuk meraih keuntungan semata. Bahwa apa yang kita lakukan ada konsekuensi kehidupan dunia dan akherat. 

Menjual dagangan menggunakan zat berbahaya bila dikonsumsi manusia, dosanya besar. Bahkan lebih besar dari mencuri, karena apa yang diperbuat amat berbahaya bagi manusia. Artinya secara sosial perlu disosialisasikan soal dosa itu bila ia beragama. Menjadi kaya dan banyak uang dari proses seperti itu juga jalan yang tidak benar. Alasan ‘keterpaksaan’ tidak bisa dijadikan alasan. 

Itulah pentingnya kesadaran soal keberlangsungan hidup sehat. karena sehat adalah investasi penting. Kita tak bisa melakukan apa-apa tanpa kesehatan. Tanpa kesadaran pentingnya kesehatan yang tersosialisasi secara merata pada semua strata kehidupan terasa berat untuk bisa membangun kesadaran kolektif soal sehat. Semua harus punya kesamaan soal pandangan itu. 

Kehidupan ini selalu melibatkan orang lain bila kita ingin membangun harmoni. Tidak bisa kesadaran itu hanya pada strata tertentu saja, semua yang terkait di dalamnya harus berkesadaran. Terutama soal keberlangsungan kehidupan. 

Bahwa kehidupan kita hanyalah estafeta dari generasi sebelum kita yang akan kita hantarkan pada generasi yang akan datang. “titipan” ini harus kita jaga, dan kita berikan pada generasi berikut. Jangan kita ekploitasi secara berlebihan. Secukupnya saja. Termasuk tadi, soal dagang itu. 

Kita dagang dan cari keuntungan, sewajarnya saja. Secukupnya saja. Jangan teracuni pemikiran ‘mencari untung sebesar2nya’. Dengan berbagai cara, termasuk cara-cara terlarang, yang dilarang etika sosial kehidupan dan agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun