Kecamatan Gedebage selalu menarik perhatian warga setempat dengan kehadiran pasar Gedebage. Pasar Induk yang berada di Timur Kota Bandung menjadi pasar yang digemari pemuda untuk membeli pakaian thrifting berharga murah dan bahan pokok. Namun, lingkungan sekitar pasar masih menuai masalah penumpukan sampah.
Terhitung sejak kebakaran pasar Gedebage tahun 2018, kelola pasar masih menyisakan persoalan. Dahulu, pasar Induk ini adalah pasar swasta milik Perseroan Terbatas (PT) Ginanjar Saputra. Kemudian, beberapa lahan dijual kepada pemerintah Kota Bandung yang dikelola oleh Perusahaan Daerah (PD) pasar.
Kepala Pasar Gedebage, Taufik Hendra menjabat di akhir tahun 2020 menjelaskan PT Ginanjar memang pengelola pasar untuk sementara waktu. Hal ini disebabkan perubahan PD Pasar menjadi Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) pada 1 Oktober 2021 lalu. Proses transisi administrasi juga faktor terjadinya penumpukan.
"Namun, tanah yang ada di sini itu masih memiliki dua pengelola yaitu PT. Ginanjar dan Perumda Pasar (PD). Kemudian 2011 ada lagi mitra kita yang namanya PT. Javana," ucap Taufik saat ditemui di kantornya (26/7).
Menurut Taufik, pihaknya sudah meminta bantuan kepada pemerintah pusat agar dilakukan analisa pasar Gedebage. Pengelolaan pasar yang dilakukan PT Ginanjar dan DLHK belum optimal dan menunggu kebijakan baru hingga akhir tahun 2022.
"Kemungkinan besar akan dibangun Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) yang lokasinya di belakang paling ujung, ribuan meter," lanjut Taufik.
Selain itu, masalah penumpukan sampah diakibatkan kendala armada pengangkutan. Mengingat, data sebaran Tempat Sampah Sementara (TPS) di Kota Bandung pada Oktober 2022, jumlah sampah yang masuk dan diangkut per hari, pasar Gedebage menampung sampah 98 meter kubik per harinya.
"Peralihan tersebut dampaknya ketersediaan armada, itu sudah banyak yang rusak. Kedua, terbatas armada, makannya salah satu kebijakan diambil dengan kembali dinas itu adalah untuk merevitalisasi armada yang berkurang, cuma butuh proses. Karena membutuhkan anggaran yang cukup besar," ujarnya.
Minimnya Udara Segar Prosesi BelajarÂ
Dampak penumpukan sampah TPS Gebebage tidak hanya dirasakan warga, pengunjung dan pedagang. Bahkan anak-anak sekolah di PAUD Strawberry di samping kiri Jalan Pasar Induk mengalami hal serupa.
Dewi Verawati adalah pendiri sekaligus kepala sekolah PAUD Strawberry bagi anak-anak pemulung. Awalnya, Dewi berniat mengumpulkan anak-anak yang tidak sekolah, dimulai dari mengajar di saung dari 55 anak. Apa yang ia angankan terwujud dan didukung oleh warga Gedebage.
Namun begitu, ketidaknyamanan sampah menumpuk sangat dirasakan anak-anak ketika pengangkutan sampah oleh armada. Selain itu, orang-orang yang hendak bersekolah di PAUD ini
terbilang minim. Dewi mengatakan lingkungan sekolah dan aroma sampah menyengat menjadi penyebab utama.
"Menimbulkan bau itu yang gak sedap, ini tuh sangat mengganggu sekali, cara satu-satunya ibu untuk menghindari bau itu pake masker gitu," keluh Dewi (8/8).
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim COP26 dalam resolusi nomor 43/13 pada Jumat, 8 Oktober 2021 kemarin. Mereka menetapkan hak atas lingkungan bersih, sehat dan berkelanjutan sudah menjadi Hak Asasi Manusia (HAM).
Demikian, Dewi sekali-kali pergi ke kelurahan maupun kecamatan untuk menyampaikan keluhan. Ia masih menyimpan harapan agar segera diangkut sampah-sampah yang tertumpuk. "Untuk ke depannya ibu pengen dipercepat sampah ini di beresin. Ya, itu yang gangguan nomor satu. Kasian," tutur Dewi.
Pengelolaan Sampah MandiriÂ
Di sisi lain, TPS Gedebage menampung sampah 4 kecamatan di daerah Bandung Timur, dari Panyileukan, Cinambo, Gedebage dan Cibiru. Taufik menyinggung pengelolaan sampah secara terpisah antara pasar dan warga. Saat TPA Sarimukti penuh, penumpukan kian menjadi-jadi.
Sebagai Kepala pasar, ia mengaku akan melakukan beberapa terobosan. Dimulai memilah dan mengolah sampah organik untuk dicacah. Lalu, air hasil sampah berguna untuk pupuk cari. Terakhir, mengolah sampah menjadi bahan pakan untuk magot.
Untuk mencapai terobosan, Taufik pernah mengundang akademisi dari Universitas Bhakti Kencana meneliti pembuatan ekoenzim di Pasar Gedebage. Ekoenzim merupakan larutan atau cairan hasil fermentasi dari limbah organik dengan bantuan mikroorganisme dan memiliki beragam kemanfaatan.
"Namun ada kendala di yang lain yaitu di marketnya, ketika sudah jadi ekoenzim kita gak bisa jual, sehingga perputarannya belum ada, kan ketika terjual hasilnya bisa membeli lagi bahan baku untuk pembuatan ekoenzim," sambungnya.
Saat ditanya perihal regulasi, fakta yang terjadi sangatlah kompleks. Taufik mengungkapkan pasar Gedebage merupakan pasar unik diantara pasar yang lain. Unik dikarenakan satu-satunya pasar yang bisa dilalui Angkutan Kota (Angkot), memiliki RW dan RT, dan pemerintah kebingungan membentuk regulasi.
"Tapi, akhirnya (pemerintah) kita buangkan aja ke TPS Terpadu, pengelolaan sampah di sini akhirnya. Sehingga ke depan sampah itu tidak keluar dari pasar ini, diolah di sini juga," lanjutnya.
Ia memikirkan antisipasi jika akses jalan menuju TPA Sarimukti yang jauh sering bermasalah. Kasus yang ia dapatkan saat perbaikan jalan di Rajamandala, sehingga sampah tak bisa diangkut dan menumpuk.
"Makannya diubahlah cara pandangnya, gimana cara supaya sampah yang ada di Gedebage ini bisa diolah disini. Karena kalau kita buang lagi ke Sarimukti terus-terusan bakal seperti ini," tutup Taufik.
*Tulisan ini merupakan hasil reportase 2022 yang dilakukan oleh crew Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka tahun 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H