Saat ini, Indonesia yang terkenal dengan negara agraria dan maritim terus tergerus oleh proyek-proyek industri ekstraktif, industri yang mengelola dan menggunakan bahan baku langsung dari alam, seperti pertambangan, pertanian dan perikanan. Proyek tersebut sering kali dimonopoli oleh pemerintah dan perusahaan swasta lokal bahkan asing.
Dari data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kawasan Indonesia yang membentang dari Sabang-Merauke memiliki luas 5.193.250 Kilometer persegi.
Dari angka di atas, luas lautan berkisar 3.273.810 Kilometer persegi; luas daratan 1.919.440 kilometer persegi; luas kawasan hutan sebesar 120.601.155,73 hektare; dan 17.508 pulau yang tersebar.
Kekayaan alam Indonesia begitu banyak, namun hal itu tidak sejalan dengan manfaat yang dirasakan oleh pribumi, terutama orang-orang desa dan pelosok.
Berapa banyak orang yang malah terkena dampak buruk dari adanya pengeboran migas, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Misalnya daerah yang berada di dekat PLTU I Indramayu dan PLTPB Wayang Windu di Bandung.
Di sisi lain, Indonesia memiliki Karst seluas 15,4 juta hektare, Gambut sekitar 22,5 juta hektare, Mangrove sebesar 3,31 juta hektare dan danau sebanyak 5.807. Tetapi, sukar sekali masyarakat Indonesia mengelola secara mandiri, dan memberikan sumber daya kepada negara asing untuk dikelola.
Untuk itu, Walhi merancangkan konsep Wilayah Kelola Rakyat (WKR) untuk mengembalikan ekonomi nusantara. Mengutip walhi.or.id, WKR adalah sistem kelola yang mencangkup tata kuasa, kelola, produksi, dan konsumsi dengan integratif dan partisipatif.
Sederhananya, konsep ini memberdayakan sumber daya alam dan lingkungan dengan melihat nilai dan potensi masyarakat setempat yang tentu demi mewujudkan keadilan ekologis dan berkelanjutan.
Sedangkan ekonomi nusantara adalah praktik ekonomi yang dikelola dan dilakukan oleh komunitas setempat, dengan orientasi pemulihan krisis dan menekankan keselarasan juga kesatuan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Penamaan ekonomi nusantara berangkat dari jejak sejarah bagaimana masyarakat Indonesia dahulu berdagang dan mengelola sumber daya yang mereka hasilkan. Raja-raja terdahulu membiarkan rakyat mengelola hasil pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan bahkan ekspor ke negara asing, raja hanya menarik upeti saja.
Perilaku demikian, berbeda dari sekarang yang mana pemerintah lebih menyediakan kawasan kepada para pemodal untuk membuat usaha di Indonesia, dan abai dengan rakyatnya sendiri. Meskipun, kita mengenal produk UMKM dan lain sebagainya, usaha yang dikelola industri berdampak besar pada bencana.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2022, total bencana yang terjadi selama tahun 2022 sebesar 1.945. Dengan demikian, WKR menjadi dimensi yang akan memulihkan kondisi sosial ekologis.
Artinya, saat lingkungan dan tanah rakyat diberikan, diakui, dan dikelola oleh rakyat itu sendiri akan menjaga kelestarian alam. Bisa terlihat bagaimana perkembangan Kawasan Hutan Negara Desa Labbo di Sulawesi Selatan pada tahun 2004 yang kering dan kurang bisa dikelola, dan perubahan yang terjadi pada 2009 yang sudah kembali hijau dan lestari.
Di tahun 2022, WKR yang dikelola komunitas lokal dengan pembinaan Walhi sudah mencapai 1.161.338 hektare yang tersebar di 28 provinsi di Indonesia. Dari peta persebaran itu, Walhi terus berupaya mempromosikan pengakuan dan perlindungan WKR sebagai model pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada pemulihan ekosistem dan upaya kolektif untuk mengurangi dampak krisis iklim dan bencana ekologis.
Hal dilakukan Walhi sendiri adalah melakukan pendampingan, mulai dari pemetaan partisipatif, dialog dengan para pihak, menyusun rencana tata guna lahan, dan perawatan dan pengelolaan kebun.
Semakin luasnya WKR akan membantu Dana Nusantara yang mendukung inisiasi ekonomi yang berbasis komunitas, menyalurkan teknologi yang tepat dan melakukan perluasan WKR itu tersendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI