Mohon tunggu...
Mohamad Akmal Albari
Mohamad Akmal Albari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Tata Negara

a piece of life, chill out!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Larangan Thrifting, Melanggengkan Fast Fashion atau Perbaiki UMKM?

14 Maret 2023   03:57 Diperbarui: 19 Maret 2023   16:04 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thrifting dinilai merusak industri fesyen UMKM sehingga Kemendag melarang barang bekas impor  (Pexels/ Tirachard Kumtanom)

Keberadaan industri tekstil domestik kiranya menjadi fokus pemerintah untuk mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). 

Namun, kerap kita melihat banyak orang-orang cenderung memakai fashion yang serba cepat dan berganti, umumnya dikenal fast fashion. 

Kementerian Perdagangan sendiri merespons cepat pada tren thrifting yang merusak UMKM, padahal sebagai gerakan mode lambat ini akan mengurangi dampak lingkungan fast fashion.

Dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor, membuat publik terkejut dan kebingungan mencari pakaian murah. 

Tertuang di Pasal 2 Ayat 3, barang yang dilarang impor meliputi kantong bekas, karung bekas dan pakaian bekas.

Sementara itu, industri mode mengenal fast fashion sebagai penyebab limbah terbesar di dunia. Mengutip laman bbc.com, brand mode H&M dan Zara sudah memproduksi 11.000 gaya baru. 

Dengan begitu, sumbangan selama 15 tahun terakhir menaikkan produksi pakaian dua kali lebih cepat, dan pemakaiannya turun 40%.

Dikatakan juga, pada tahun 2030, sebesar 35% lahan akan dihabiskan oleh produsen tekstil. Jika terus berlanjut, tren yang hadir akan mempercepat industri mode ultra-cepat. 

Lantas, di Indonesia saat ini, anak-anak muda lebih menyukai barang-barang impor (thrifting) daripada mode cepat. Alasannya sederhana, yaitu murah, mampu menyeimbangi tren fesyen, dan mengurangi limbah industri fesyen.

Lalu, upaya pemerintah juga tidak membahas bagaimana menanggulangi mode cepat di Indonesia. Sisi positif kebijakan larangan thrifting juga memperkenalkan produk fesyen Indonesia melalui UMKM. 

Untuk itu, Kemendag membuat Satuan Tugas (Satgas) mencegah barang bekas impor, baik itu disita atau dibasmi oleh mereka.

Melihat lebih jauh dampak thrifting yang merusak Industri mode, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menelisik banyaknya pekerja industri mode yang kena PHK karena tidak mampu menembus pasar internasional. 

Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kalau nilai impor barang tekstil jadi Januari 2023 berkisar US$ 12,2 juta atau Rp 187,6 miliar yang memiliki volume 4.800 ton.

Dampak buruk di Indonesia akibat tren thrifting memang tak bisa diabaikan, tetapi kebijakan Kemendag tidak memiliki empati terhadap pekerja industri mode global. Mengapa? Salah satu solusi mengatasi gerakan fast fashion adalah dengan memperluas gerakan thrifting. 

Di Industri mode cepat, para pekerja mendapatkan dampak yang lebih parah, pelanggaran hak pekerja yang berkaitan dengan anak, diskriminasi dan kerja paksa menimbulkan perbudakan modern.

Risiko demikian disebabkan rantai pasokan yang cepat, responsif dan masif untuk memenuhi permintaan pelanggan. 

Nasib Indonesia jika kurang memperhatikan peningkatan mode cepat membuat iklim Indonesia gersang oleh sisa karbon dari limbah yang menumpuk. 

Temuan dari Fashon Revolution mengungkapkan kalau limbah ini memancarkan gas metana yang 28 kali lebih besar dari karbon dioksida.

Bahkan, Changing Markets Foundation, 2021, mendapati limbah cair dari industri mode menyumbang 20% polusi air di dunia. 

Kendati realita yang memburuk, Kemendag memutuskan untuk melarang barang impor sebagai awal pencegahan penambahan limbah pakaian. Di sisi lain, mengajak masyarakat membeli produk negeri agar lebih berkembang pesat di industri mode dan kreatif.

Maka, dari sisi konsumen fesyen, mengurangi peningkatan mode cepat bisa dilakukan dengan beberapa hal, di antaranya: membatasi diri dari membeli pakaian berlebihan, mendukung mode lambat, menggunakan pakaian asli, dan saling tukar pakaian.

Sepintas, UMKM Indonesia kurang didukung oleh masyarakat dan lebih menyukai barang impor yang menjadi tren publik.

Ajakan Kemendag agar tidak memakai pakaian thrifting belum berhasil secara signifikan, sebab penyediaan dari UMKM masih stagnan dan tidak populer, dengan ini pemerintah juga harus menjadikan produk UMKM tren publik selain melakukan pelarangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun