Mohon tunggu...
Mohamad Akmal Albari
Mohamad Akmal Albari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Tata Negara

a piece of life, chill out!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"La Sape" Subkultur Kongo Hedonis Bentuk Eksistensi Perlawanan

23 Februari 2023   10:24 Diperbarui: 23 Februari 2023   10:32 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Sapeur berjalan ala model di jalan umum (Tariq Zaidi/BBC)

Berbeda di Indonesia yang pernah ramai Citayem Fashion Week para remaja yang mengenakan busana kekinian dan beragam. Gaya hidup serupa takenoku-zeku atau Harajuku Fashion di Jepang, berada di Negara Kongo, terdapat komunitas bernamakan La Sape.

La Sape merupakan gerakan kolektif berpakaian mewah dan ternama orang-orang Kongo, Afrika Selatan. Mereka kerap dianggap ekstrem, karena demi gaya hidup tersier rela menghabiskan uang dari gaji yang di dapatkan.

Selain itu, busana ternama Eropa adalah hal paling penting, mengesampingkan makan, meminjam uang sampai mencuri. Istilah La Sape merupakan akronim Bahasa Prancis Socit des ambianceurs et des personnes elegantes, yang berarti suasana masyarakat berpakaian elegan.

Tentu, komunitas La Sape wujud subkultur, bahkan bentuk ideologi perlawanan agar bahagia karena masa lampau yang terjajah dan tersubordinasi. Tentu, berangkat dari sejarah dan latar belakang yang mewujudkan perilaku ini.

Perlawanan Terhadap Penjajah

Berawal dari sekitar tahun 1920-an, mengutip cnn.com, saat kaum kolonial Prancis dan Belgia menjadikan orang-orang Kongo budak mereka. Pemuda Kongo berusaha melawan kolonial dengan cara berpakaian yang sama setelah mendapatkan upah bulanan.

Sementara itu, di Kota Brazzavile dan Kinshasa, orang-orang Kongo diberikan upah dalam bentuk pakaian, bukan berupa uang. Dengan mengikuti para majikan, mereka bisa bahagia dan puas, memungkinkan gaya hidup berbusana yang setara.

Di sisi lain, dalam La Sape: Tracong the History and Future of the Congo's Well Dressed Men oleh Hannah Rose Steinkopf-Frank menuliskan bahwa perilaku ini adalah pembawaan budaya Paris, Prancis dari pemuda bernama Jean Marc Zeita.

Ia berpindah ke Paris dan membuat komunitas Aventuries, dimana para imigran muda Kongo berkumpul. Lalu, gerakan peniru ini membawakan gaya hidup Paris ke Kongo demi prestise sosial tinggi.

Meskipun Negara Kongo termasuk dalam 10 negara termiskin di dunia, para Sapeur (sebutan pengikut La Sape) suka boros dan tidak mementingkan keadaan ekonomi.

Pakaian dan elegan adalah segala-galanya, mencapai kepuasan, kebahagiaan dan perdamaian mereka. Negara miskin juga bukan hambatan mereka mendapatkan pakaian original dan menghindari pakaian palsu alias KW.

Di balik Gaya Hidup Mewah

Pakaian KW bagi para Sapeur (atau Sapeuses untuk perempuan) adalah sebuah penghinaan diri, tidak salah lagi, ini akibat obsesi terhadap gaya hidup kaum penjajah dahulu.

Terlepas dari subkultur yang mencari-cari penghargaan diri, para Sapeur tetap dipandang bagian penting budaya Kongo. Orang-orang yang kompetitif berbudaya ini, tidak sekali pun memiliki maksud buruk dan merusak.

Tujuan hidup damai tanpa kekerasan maupun perkelahian adalah dampak baik perilaku kolektif La Sape, tidak hanya itu, Sapeurs juga menolak budaya patriarki. Ada kalanya kontradiktif, jika pakaian yang mereka dapatkan hasil mencuri.

Sejarah kelam penuh penderitaan dan kesengsaraan telah usai, cara merayakan kemenangan adalah tampil seperti orang-orang merdeka dan mewah.

Demikian, setelan jas berpita dilengkapi sepatu pantofel selalu dipakai pemuda hingga orang tua untuk berjalan sebagai model di jalan desa. Bagi para penonton, ini upaya hiburan yang ditampilakan komunitas La Sape.

Bagi mereka, sekali lagi, pakaian adalah segalanya dan tidak peduli atas tempat atau lingkungan seadanya. Sapuers meyakini kalau perilaku kolektif yang di usung memperkuat budaya dan bernilai bentuk harga diri.

Komunitas La Sape juga bukan subkultur sepele di Kongo, perilaku ini telah menggeser budaya asli Kongo. Kehidupan yang berbanding jauh dari Suku Bambuti, salah satu kelompok suku Pygmy, penduduk asli tertua negara Kongo yang hidup masih meramu dan beruburu. Jauh dari arus globalisasi dan budaya asing mana pun. 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun