Pakaian KW bagi para Sapeur (atau Sapeuses untuk perempuan) adalah sebuah penghinaan diri, tidak salah lagi, ini akibat obsesi terhadap gaya hidup kaum penjajah dahulu.
Terlepas dari subkultur yang mencari-cari penghargaan diri, para Sapeur tetap dipandang bagian penting budaya Kongo. Orang-orang yang kompetitif berbudaya ini, tidak sekali pun memiliki maksud buruk dan merusak.
Tujuan hidup damai tanpa kekerasan maupun perkelahian adalah dampak baik perilaku kolektif La Sape, tidak hanya itu, Sapeurs juga menolak budaya patriarki. Ada kalanya kontradiktif, jika pakaian yang mereka dapatkan hasil mencuri.
Sejarah kelam penuh penderitaan dan kesengsaraan telah usai, cara merayakan kemenangan adalah tampil seperti orang-orang merdeka dan mewah.
Demikian, setelan jas berpita dilengkapi sepatu pantofel selalu dipakai pemuda hingga orang tua untuk berjalan sebagai model di jalan desa. Bagi para penonton, ini upaya hiburan yang ditampilakan komunitas La Sape.
Bagi mereka, sekali lagi, pakaian adalah segalanya dan tidak peduli atas tempat atau lingkungan seadanya. Sapuers meyakini kalau perilaku kolektif yang di usung memperkuat budaya dan bernilai bentuk harga diri.
Komunitas La Sape juga bukan subkultur sepele di Kongo, perilaku ini telah menggeser budaya asli Kongo. Kehidupan yang berbanding jauh dari Suku Bambuti, salah satu kelompok suku Pygmy, penduduk asli tertua negara Kongo yang hidup masih meramu dan beruburu. Jauh dari arus globalisasi dan budaya asing mana pun.Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H