Hidup perlu diromantisasi, menjadi wanita atau pria yang memiliki kodrat masing-masing saling melengkapi kekurangan. Untuk itu, Sang Pencipta menorehkan kuasa-Nya pada alam semesta dengan berpasang-pasangan.
Dunia itu unik dan beragam, sebuah pilihan tanpa pertimbangan akan menjadi penyesalan. Saat di lalu lintas ada yang dikenal car-free day, begitu juga dalam pernikahan ada pilihan child free antara kedua pasangan.
Gemah ripah orang-orang mendukung dan menolak fenomena child free, ibarat call to act or deny atas statement Gita Savitri, yang akrab dengan Gitasav. Memilih child free itu kembali atas persetujuan kedua pasangan, setelahnya tidak akan terasa bagaimana peran orang tua atas tanggungan anak.
Menggaungkan child free senyatanya mengkampanyekan gerakan feminisme National Organization for Non-Parent (NON) kala itu di Amerika Serikat tahun 1970-an. Tanggal 1 Agustus adalah perayaan mereka pada momen International Childfree Day.Â
Tidak ada yang salah memperjuangkan hak, yang ada kekeliruan perjuangan tidak dalam konteksnya. Emansipasi wanita sudah menghadirkan Kartini-Kartini baru dalam gerakan feminisme.
Memiliki anak adalah bentuk kebahagiaan dan pencapaian pasangan, kelak menjadi ayah dan ibu bisa menghasilkan keturunan yang membanggakan. Kewajiban lelaki menafkahi dan mendorong keluarga lebih baik tidak kalah atas jasa ibu sebagai madrasah pendidikan pertama.
Menjadi wanita yang tidak mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak berakibat disfungsi seksual dan emosional. Masalah stres dan lelah mengurus anak akan tiada, tapi apakah itu membuat bahagia sepenuhnya?
Lantas, dengan tidak adanya anak akankah menimimalisir bencana bonus demografi Indonesia di puncak satu abadnya. Terlepas dari ajaran agama dan budaya, rupanya child free menguntungkan kelompok wanita semata.
Lelaki setuju pun, pasti menimbulkan kecemburuan dari para ayah lainnya. Kampanye "my body my right" dan "my body my choice" tidak memikirkan rasa empati wanita golongan child less.
Dimana child less, yang tidak bisa menghasilkan anak sangat mendambakan diri mereka menjadi orang tua. Regenerasi anak emas bangsa akan terhalangi jika child free tumbuh dan mengakar di Indonesia.
Kepentingan pejuang child free mengingatkan wanita juga berhak memilih apa yang dia inginkan. Ternyata memperlihatkan sikap egois pada pikiran mereka. Tentu, pilihan adalah kebolehan dan tidak dilarang.
Satu hal yang salah dalam memilih adalah mempublikasikan. Andai saja, fenomena seperti ini dirasakan sendiri tanpa mengkampanyekan, tidak terjadi berbagai kritik dan penolakan. Alasan traumatik dan menjadi awet lebih muda sepenuhnya tidak salah.
Kiranya, resiko kanker juga akan menghampiri karena reproduksi biologis yang diabaikan. Menjalani hidup dalam hubungan pernikahan, setiap pasangan akan selalu bahagia jika hadir konsep keluarga.
Keluarga tanpa anak bukanlah keluarga, ia akan selalu berposisi sebagai pasangan. Sementara, persiapan sebelum memiliki anak harus dipikirkan. Lagi-lagi stigma negatif atas pilihan seseorang merebak tanpa tahu seluk beluknya.
Kepiawan pasangan akan terlihat ketika mengasuh dan merawat anak, konsekuensi harus diterima keduanya. Masalah rumah tangga harus diputuskan personal, keputusan apapun yang dibuat berfokus membangun tujuan.
Kehendak dan pandangan hidup berbeda-beda tetap berpengaruh di kehidupan sosial. Perspektif masyarakat Indonesia yang skeptis dan kolekif berdampak tekanan sosial yang bertanya-tanya masalah privat.
Semakin besar peradaban intelektual manusia, situasi menghadapi tantangan jaman akan berkembang dan berubah. Over populasi, masalah finansial, material instinct seakan-akan menghancurkan lelaki yang mengimajinasikan hidup sambil melihat tumbuh-kembang anak.
Selayaknya, manusia perlu keseimbangan hidup bukan seolah-olah seimbang dan memburuk atas perilakunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H