"Indonesia sudah merdeka! tapi sayangnya mental kolonial masih melekat pada orang yang masih memiliki kuasa" begitu kiranya perkataan para founding fathers kita. Bandung lautan api selalu berkobar melawan praktik kolonialisme, kota yang sentral dengan sejarah Asia-Afrika ini ternyata masih tersisa ketidakadilan dari penegakkan hukum agraria. Tidak hanya Dago Elos, Anyer Dalem dan Taman Sari juga menjadi contohnya.
Kasus sengketa tanah yang terletak di Dago Elos RW 02 meliputi RT 01 dan RT 02 merupakan kegagalan reformasi agraria sebagaimana UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria dan Keppres No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.Â
Permasalahan awal bermula dari gugatan 3 ahli waris keluarga Muller, Heri Hermawan Muller, Dodi Rustandi Muller, Pipin Sapendi Muller yang merupakan cucu Goerge Hendrikus Wilhelmus Muller, warga Jerman yang dahulu tinggal di Bandung. Aset lahan yang mencangkup 6,3 ha adalah tanah Eigendom Verponding atau hak milik tanah dalam produk hukum kolonial Belanda, terbagi menjadi tiga bagian, No. 3740 mencangkup 5.316 meter persegi, No. 3741 mencangkup 13.460 meter persegi, dan No. 3742 mencangkup 44.780 meter persegi.
Tanah yang bersetifikat tahun 1934 oleh kerajaan Belanda sudah dikonversikan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan berakhir pada 24 September 1980 berdasarkan pasal 1 ayat (1) Keppres No. 32 Tahun 1979. Secara prosedural pengadilan warga Dago Elos memenangkan ditingkat Banding dan Kasasi, tetapi dalam upaya luar biasa Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) memenangkan keluarga Muller.
MA menganggap putusan Kasasi adalah sebuah kekeliruan, Warga Dago Elos dinilai melakukan perbuatan melawan hukum karena menguasai objek sengketa Eigendom Verponding, padahal sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah warga mendapatkan hak milik atau hak prioritas untuk memohon hak atas tanah.Â
Selain keluarga Muller, penggugat IV, PT. Dago Inti Graha yang merupakan korporasi memang kuat. Sehingga dalam amar putusan PK No. 109/PK/Pdt/ 2022 menyerahkan objek sengketa tanah tanpa syarat pada korporasi tersebut. Sehingga mereka berhak mengosongkan dan membongkar bangunan dengan alat keamanan negara jika diperlukan. Pengadilan kiranya sangat jauh dari rasa keadilan hukum agraria.
Asas lex posterior derogat legi priori (aturan baru mengeyampingkan aturan yang lama) sama sekali tidak merepresentasikan penegakkan hukum (law enforcement). Warga yang juga memohon sertifikat pendaftaran tanah ke kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) tidak menanggapi. Hingga pada Senin, 20 Juni 2022 warga Dago Elos melakukan aksi di kantor BPN Kota bandung pagi tadi.Â
Mereka menuntut 4 poin, diantaranya BPN wajib membuat peryantaan resmi terhadap status kepemilikan tanah Dago adalah hak warga; BPN wajib membuat pernyataan resmi terhadap hasil putusan MA No. 109/PK/Pdt/2022; BPN wajib melakukan pemblokiran bekas Eigendom Verponding di wilayah Dago terminal Elos - Cirapuhan; BPN wajib memberikan sertifikasi warga yang berdomisili sesuai UU PA dan Keppres 32 hak prioritas.Â
Pasal 5 keppres No. 32 Tahun 1979 berbunyi "tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki Rakyat, akan diberikan prioritas kepada Rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah."
Meskipun secara kepastian hukum, pasal  menyangkut pendaftaran tanah atas konversi hak Barat dalam pasal 24 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi "Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya."
Pasal tersebut yang menjadi pertimbangan MA, tetapi tetap warga harus diberikan hak prioritasnya juga. Karena ini menyangkut kesejahteraan dan kemanfaatan masyarakat Dago Elos yang menjadi korban degradasi semangat reformasi agraria. Besar harapan warga Bandung ikut peduli sesama membantu penegakkan hukum agraria ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H