Mohon tunggu...
Wida Waridah
Wida Waridah Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

mencintai puisi, sunyi, dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Ibu dan Catatan-catatan yang Berserak

23 Desember 2013   01:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

No Urut: 200 - Wida Waridah

Mungkin Beginilah Rasanya Menjadi Ibu

Harapan seperti hantu, terkadang menakutkanku. Seringkali aku berharap bahwa aku bisa melewati hari ini dan esok dengan baik-baik saja. tanpa ketakutan. Tanpa kecemasan. Namun seringkali yang terjadi adalah aku diliputi rasa tak menentu. Bukan, ini bukan soal yang menyangkut lagi perasaan remeh-temeh, yang dulu malah menjadi seperti penting.

Perasaanku tak menentu saat pekerjaanku belum juga selesai, sedangkan deadline di depan mata. Perasaanku tak menentu saat aku tahu bahwa sebentar lagi bulan berganti, dan aku, bahkan tak punya uang hanya untuk sekadar membayar iuran sampah. Bahkan yang seringkali terjadi adalah, perasaanku tak menentu saat aku menyadari bahwa aku benar-benar tak bisa memberikan yang terbaik buat anakku.

Mungkin beginilah rasanya menjadi ibu. Begitu tak menentu, ketika segala sesuatu terjadi dalam rumahku.

22 Januari 2013

Ibu, aku membaca kembali catatan harian yang kutulis di awal tahun itu. Sungguh, itu bukanlah catatan yang menyenangkan. Aku menjadi teringat pada tanggal itu, pada bulan itu, semuanya seperti diliputi ketakutan. Cucumu baru berusia dua tahun 5 bulan. Seperti yang ibu tahu, aku dan menantumu bukanlah seseorang yang memiliki pekerjaan tetap. Kami hanya hidup dari menulis. Lantas pada tanggal itu, segalanya seperti memburuku.

Pada saat itulah aku mengingatmu, Ibu. Bagaimana perjuanganmu agar kehidupan tetap baik-baik saja dalam rumah kita, meski bapak sakit-sakitan, dan kami, anak-anak yang dilahirkan dari rahimmu masih belum juga bisa membalas apa yang telah kamu berikan. Kamu rela terbangun di saat semua orang masih terlelap tidur. Mendorong gerobak untuk pergi ke pasar. Sendirian.

Pada saat orang baru terbangun, tubuhmu sudah mengucurkan keringat. Membawa belanjaan dari pasar untuk kita jual di warung yang menjadi satu kesatuan dengan rumah. Tubuhmu masih harus melakukan banyak hal selepas itu. Memasak untuk kami yang akan berangkat sekolah. Membereskan barang dagangan, mencuci, lantas menunggu warung sampai malam kembali datang.

Namun aku tak pernah melihatmu mengeluh, Ibu. Atau mungkin dirimu hanya menyimpan keluhan untuk diri sendiri. Agar tak pernah terbaca oleh kami. Kami yang senantiasa membuatmu repot. Membuatmu tak bisa berdiam barang sejenak. Dan aku, baru menyadari bagaimana repotnya menjadi seorang ibu, sepertimu, setelah usiaku menginjak 27 tahun.

Sungguh, sesuatu yang sangat terlambat menurutku. Tapi bisikanmu di telingaku tempo hari, Bu. Menguatkan aku. "Tak ada kata terlambat, Anakku... Kini kau telah menjadi ibu, cukup bagiku melihatmu menjadi ibu yang baik bagi anak-anakmu. Ibu tak membutuhkan balasan kasih sayangmu atas apa yang telah ibu lakukan. Berikan saja anakmu kasih sayangmu sepenuh jiwa, agar kelak, dia tahu, bahwa ibunya adalah sumber kebahagiaan bagi hidupnya."

Maka sejak bisikanmu itu, Ibu, aku berjanji untuk bisa menjadi seperti dirimu. Menjadi ibu yang tangguh, yang tak pernah mengenal kata lelah, yang mampu melewati pintu kematian hanya untuk melihat anak-anaknya hidup bahagia.

Malam tadi, tanpa sengaja aku menemukan lagi tulisan yang kutulis saat dirimu sedang terbaring sakit. Air mataku jatuh begitu saja. Aku mengingat lagi masa-masa itu. Masa saat aku seperti akan kehilanganmu. Masa ketika dokter sudah menyerah atas sakitmu, dan bapak membawamu ke kota kelahiranmu. Dan aku melihat perjuanganmu. Kamu berjuang untuk tetap hidup hingga hari ini. Melihat cucu-cucumu yang lucu. Menikmati kebahagiaan masa tuamu, meski bapak nyatanya lebih dulu pergi, mendahuluimu.

Sebelum aku menutup suratku, Ibu. Aku ingin menuliskan kembali puisi yang kutulis saat dirimu terbaring dan kamu berjuang untuk tetap tegak hingga hari ini. Dengan menuliskannya lagi, aku berharap aku bisa sekuat dirimu, Ibu.

Memburu Nafas Berbatu
: kepada ibunda tercinta

jeritmu memecahkan bulan di jantungku
rintihmu merobek malam menjadi serpihan
serpihan gelap yang menyayat. ragamu koyak
sedang aku hanya menggapai kekosongan
menyempurnakan luka lantas airmata membeku
hanya menjadi igau dan racau

kanker itu mungkin telah menjalar ke tengkuk
seiring teriak hampamu memanggil seluruh penghuni
kubur keluarga

jangan pergi...
aku belum sempat membuatmu tersenyum bangga
hanya luka dan duka yang kunarasikan sepanjang masa

jangan pergi...
berikan sedetik lagi untukku
agar bisa kupersembahkan bakti paling purba
- mencium telapak kakimu adalah menghirup wangi surga

biarkan aku memikul seluruh lukamu agar tak kudengar
rintih dan jeritmu yang menghancurkan langit dan bumi
di dadaku. biarkan kucumbu engkau sebagai seseorang
yang pernah singgah di rahimmu

jangan pergi...
hanya padamu kuterjemahkan makna cinta seutuhnya.

07 november 2003

--------

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun