Maka sejak bisikanmu itu, Ibu, aku berjanji untuk bisa menjadi seperti dirimu. Menjadi ibu yang tangguh, yang tak pernah mengenal kata lelah, yang mampu melewati pintu kematian hanya untuk melihat anak-anaknya hidup bahagia.
Malam tadi, tanpa sengaja aku menemukan lagi tulisan yang kutulis saat dirimu sedang terbaring sakit. Air mataku jatuh begitu saja. Aku mengingat lagi masa-masa itu. Masa saat aku seperti akan kehilanganmu. Masa ketika dokter sudah menyerah atas sakitmu, dan bapak membawamu ke kota kelahiranmu. Dan aku melihat perjuanganmu. Kamu berjuang untuk tetap hidup hingga hari ini. Melihat cucu-cucumu yang lucu. Menikmati kebahagiaan masa tuamu, meski bapak nyatanya lebih dulu pergi, mendahuluimu.
Sebelum aku menutup suratku, Ibu. Aku ingin menuliskan kembali puisi yang kutulis saat dirimu terbaring dan kamu berjuang untuk tetap tegak hingga hari ini. Dengan menuliskannya lagi, aku berharap aku bisa sekuat dirimu, Ibu.
Memburu Nafas Berbatu
: kepada ibunda tercinta
jeritmu memecahkan bulan di jantungku
rintihmu merobek malam menjadi serpihan
serpihan gelap yang menyayat. ragamu koyak
sedang aku hanya menggapai kekosongan
menyempurnakan luka lantas airmata membeku
hanya menjadi igau dan racau
kanker itu mungkin telah menjalar ke tengkuk
seiring teriak hampamu memanggil seluruh penghuni
kubur keluarga
jangan pergi...
aku belum sempat membuatmu tersenyum bangga
hanya luka dan duka yang kunarasikan sepanjang masa
jangan pergi...
berikan sedetik lagi untukku
agar bisa kupersembahkan bakti paling purba
- mencium telapak kakimu adalah menghirup wangi surga
biarkan aku memikul seluruh lukamu agar tak kudengar
rintih dan jeritmu yang menghancurkan langit dan bumi
di dadaku. biarkan kucumbu engkau sebagai seseorang
yang pernah singgah di rahimmu
jangan pergi...
hanya padamu kuterjemahkan makna cinta seutuhnya.