Di rumah sendiri, ada identitas saya terkait dengan agama dan suku saya. Tapi tidak mendominasi. Saya suku memajang beberapa lukisan antara lain penari bali, patung dari Thailand yang identik dengan "Hindu". Saat para tamu berkunjung. Beberapa bertanya patung budha siapakah itu? Kesempatan ini menjadi ajang bagi saya untuk menjelaskan bahwa sikap hidup budha banyak yang patut ditiru.
5. Menulis pengalaman baik tentang perbedaan. Keindahannya, masa kecil atau menebarkannya lewat facebook atau yang lain
Saya punya boss muslim yang sejak kecil terbiasa masuk ke gereja dan ikut sekolah minggu. Kepiawaiannya berbahasa Batak mengalahkan saya. Jadi saat dia update status bahasa Batak, yang lain akan memberi respon positip. Hal ini perlu ditulis. Respon atas Ketidaklaziman" tapi masih normal dan unik ini akan menimbulkan rasa kebanggaan. Menaikkan derajat ketoleransian. Menebas batas dan sekat kerasisan yang tidak bermakna. Dan akhirnya berkutat ke soal kebenaran semu.
Berbeda, kaya budaya, banyak rasa dan melatih kesensitifan
Saya terkadang cemburu melihat keluarga lain yang menikah dengan suku lain. Sayangnya keluarga saya mengajarkan sebuah pernikahan yang"homogen" harus dari suku yang sama, agama yang sama. Dan akhirnya kami semua menerapkannya. Saya senang melihat pasangan yang berbeda suku. Suka mendengarkan cerita-cerita adaptasi sebuah pasangan. Suka mengulas cerita tentang "kebenaran" versi A. dan salah bagi versi B.Bagi saya kebenaran itu relatif. Terkadang miris juga mendengar misalnya suku A lebih baik dari suku B. Saya hanya berpandanganbahwa semua suku baik. Lain lubuk lain padang. Lain gubuk lain ladang. Tidak saling melecehkan. Tidak merasa paling benar. Saya suka berdialog untuk mencari titik temu bahwa semua pandangan tradisional dan modern akan menemui satu titik di suatu masa dan suatu tempat.
Bagaimana respon kita terhadap berbagai status yang “terindikasi Rasis”???
- Jangan mengomentari sebuah pernyataan yang isinya hanya untuk mengumbar kesombongan pada satu etnis tertentu.
- Jangan mengomentari sebuah status yang isinya hanya untuk menjatuhkan etnis lain. Misalnya kasus berikut : Soal Batak dan bukan. Karena kebenaran itu relatif. Bahkan ahli sekelas sejarawan Bapak A Gonggong pun tak sanggup meganalisis persoalan itu. Kita sebagai generasi Kompasianers jangan lagi ribut hanya karena persoalan topi yang digunakan oleh presiden saat berkunjung ke Toba Samosir, tetapi sudah pada tataran yang “bermanfaat” tentang memetik makna kedatangan beliau ke tanah Batak.
Bagaimana caranya agar Peran Kita makin mantap dalam menjaga kerukunan
- Lebih adaptif, fleksibel dan saling menerima . Hidup itu dinamis. Berputar, bergerak. Maju, mundur. Di jaman terbuka ini, apa saja bisa terjadi. Status seorang A bisa saja menghujat suku B membabi buta, tapi satu sepersekian detik bisa saja dia memuji suku B tersebut. Tak ada batasan. Karena itu tak ada yang statis di dunia ini. Coba kita lihat berbagai status seseorang di saat musim Pemilihan Presiden. Si Polan habis-habisan menghantam lawan politik dengan menggunakan tameng rasis (menggugat agama, suku, latar belakang, keluarga, asal pendidikan) calon Mr. A. Tapi lihat sesudahnya, si Polan dengan wajah manis duduk bersanding dengan Mr. A yang menang. Sementara anda yang habis-habisan mendukung si Polan hanya bisa menonton dagelan itu. Karenanya adaptiflah, fleksibellah. Bukan berarti tidak berprinsip.Tetapi hidup itu berubah kawan.
- Jangan mudah terprovokasi. Telinga, mulut bahkan tangan akan terasa pedas dan menusuk ketika “wilayah privatisasi”kita diserang. Misalnya agama A suka-suka buka kedai di wilayah yang mayoritas agama C. Saat identitas kita disinggung, sepertinya aura atau urat –urat negatip di seluruh badan kita mencuat untuk memuntahkan emosi. Tapi sebagai manusia yang sudah berpikiran dan berwawasan luas serta teredukasi dengan berbagai informasi positip hendaknya aura provokasi dalam tubuh kita semakin kita kurangi. Menurut ahlinya semakin jarang aura negatif bersarang (marah, emosi, stress, dll) di tubuh kita maka usia kita akan semakin panjang. Aura positip yang tumbuh akan melahirkan hormon baik bagi kesehatan dan emosional kita.
- Mengasah sensitifitas. Menajamkan rasa sensifitas butuh waktu lama. Berbagai macam tipe orang di dunia ini. Ada yang naïf, ada yang kritis tapi membangun, ada yang radikal. Sebagai warga Negara yang baik tentu kita harus berfungsi menetralisir situasi-situasi dan menghadapai berbagai karakter manusia yang ada di sekeliling kita.
- Check list daftar friends anda di media social. Jangan sungkan Men ”Delete/hapus/remove” orang-orang yang menurut anda suka menebar pernyataan-pernyataan yang aromanya berbau SARA. Kita tidak butuh teman dengan tipe seperti itu. Walaupun dia satu almamater sekolah dengan anda.
- Mulai sekarang tetapkan dalam hati bahwa salah satu prinsip hidup anda adalah “Menghindari nuansa SARA “. Itu sudah keharusan, coba cek disyarat di blog Kompasiana. Kutipan “ Tulisan tidak mengandung unsur SARA atau berisikan informasi negatif mengenai sebuah merek, produk, jasa, layanan, lembaga, atau individu.” selalu menjadi satu syarat mutlak menulis blog di Kompasiana. Sudah keharusan. Wajib hukumnya. Apapun status anda, agama anda, seberapa kayapun anda. Salah satu saran misalnya dengan “No SARA” di closing statement email anda (signature). Saat mengirimkan email pada satu orang yang berbeda anda telah menebar satu virus positip. Artinya membangun satu desain kehidupan yang lebih toleran di masa datang. Sehingga tak terdengar lagi Mesjid dibakar, vihara dibakar, gereja dibakar dan lain sebagainya.
- Petiklah/Quote berbagai kata bijak dari tokoh kelas dunia soal keharmonisan. Atau status-status menenangkan teman/sahabat kita di facebook
- Bagikan status teman yang menebarkan "kesejukan" dalam menjaga kerukunan umat beragama, suku, golongan atau RAS. Kesejukan pasti akan menuai angin sepoi dengan jiwa tenang dan spirit terjaga secara baik
Nah.. sekarang mari beraksi, lawan virus kerusuhan dengan kedamaian. Provokasi dengan kebajikan. Karma buruk dengan karma baik. Maka kerukunan akan terawat, kelanggengan akan terjaga. Dan gunung keharmonisan akan semakin tinggi. Tentu untuk Indonesia yang lebih toleran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H