Masih belum selesai--sambil menggenggam  sebuah gelas yang ada di depannya--Fariha dengan segenap emosinya melemparkan ke dinding. Gelasnya hancur seperti hatinya yang malah jauh lebih hancur.
"Aku bekerja juga untuk membahagiakan keluarga. Lihat rumah yang kita tinggali ini, mobil yang membawa kita kemanapun kita pergi, kontrakan sepuluh petak, tak mungkin ini datang dengan sekejap. Daripada aku meninggalkan pekerjaan, biarlah aku meninggalkan kamu!"
Untung kalimat terakhir, berhasil ia tahan, dan tak sempat dimuntahkan. Ia takut nanti berakhir dengan perceraian (begitu keyakinan menurut agama yang ia anut)
Sejak peristiwa berdarah itu, Zamzami tak pernah lagi mengungkit-ngungkit keinginan agar istrinya Fariha berhenti bekerja.
"Apa yang terjadi, terjadilah," batin Zamzami.
***
Hari itu, hari pertama mereka kembali bekerja, setelah liburan usai. Sesaat hendak berangkat, dipeluknya anak perempuannya, badannya panas. Mereka buru-buru berobat.
"Suhunya terlalu tinggi, harus dilakukan pemeriksaan darah, jika hasilnya 'positif', terpaksa anaknya di rawat inap."
Bukan kali ini saja anaknya sakit, bahkan dalam satu bulan bisa tiga hingga empat kali bolak balik rumah sakit.
Pernah pembantunya memberi obat tidur, mencampurkannya ke dalam susu. Alasannya, tak sanggup melakukan pekerjaan yang tak pernah berujung: memasak, mencuci, menggosok, merawat anak, dan beberes rumah.
***
Fariha mulai merasa bersalah dengan dirinya. Kata-kata suaminya selalu terngiang di telinganya, masuk ke dalam pikirannya, mengalir ke seluruh darahnya.Â