Seiring berjalannya waktu, Fariha mulai paham mengatur pola makan, dan belajar mengorganisir pikiran.
Tak susah bagi seorang Fariha menyelesaikan kuliah dalam waktu 3.5 tahun. Ia dulu pernah berjanji pada diri untuk mengejar segala ambisi.
Salah satu pintu masuk untuk mendapatkan pekerjaan bonafide, Fariha terpaksa memperpanjang jarak rantaunya. Jakarta adalah pilihannya.
Tuhan memeluk mimpi-mimpinya. Ia bekerja pada salah satu perusahaan multinasional.
Di kampung, Fariha menjadi buah bibir. Ia adalah alasan bagi orang tua untuk menitipkan anak mereka ke kampus, berapapun biaya yang harus ditanggung. Berharap suatu hari nanti bernasib yang sama dengan Fariha.
***
Pada usia yang telah mencapai angka tiga puluh tiga, Fariha menikah dengan Zamzami, seorang petinggi kantor Imigrasi.
Setahun berselang, ia dikaruniai seorang anak perempuan. Sempurnalah kebahagiannya. Tapi dari sinilah penderitaan demi penderitaan (yang tak tertanggungkan) itu bermuasal.
Bermula dari kegetiran Zamzami kepada anaknya, yang sering ditinggal, berangkat kerja sebelum matahari terbit, dan kembali saat malam telah semakin kelam
"Jika engkau berkenan, cukup aku saja yang bekerja, sedang engkau tinggallah di rumah saja, mengiringi tumbuh kembang anak perempuan kita, menjaga sehatnya, menghebatkannya...."
Belum selesai suaminya berbicara, Fariha langsung memotong kalimat-kalimat haram yang keluar dari mulut lelakinya.
"Inilah yang aku takutkan saat kita telah menikah dan mempunyai anak. Mana mungkin aku yang telah meninggalkan kampung halaman, meninggalkan Ayah dan Ibu dengan segala kesenangannya, merantau dan kuliah, berdarah-darah belajar agar cepat tamat, Â keluar masuk rumah sakit karena kelelahan mengejar impian...."